13. Wujud Dari Luka Ragas

141 13 2
                                    

"Kamu mau ke mana?" Dante menatap aneh Kashi yang baru saja tiba, tapi seakan kesetanan mencari jalan keluar dari rumahnya sendiri. "Kelas etiketmu sebentar lagi."

Michelia tak terlihat, entah diseludupkan di mana oleh Dante. Mungkin di saku. Tapi, yang pasti, Kashi menemukan urgensi barunya.

"Persetan soal etiket, saya--"

"Siapa yang mengizinkanmu memaki di depanku?!" Dante mencengkram pergelangan tangan Kashi yang tampak ingin berontak.

"PAK, ANAK ANDA SEDANG TELER DI ATAS PAHA WANITA ANTAH-BERANTAH! AYAM KAMPUS ITU, PAK!"

Dante sempat menaikkan sebelah alisnya sebelum bibirnya berucap sangsi. "Ragas?"

"Ya siapa lagi?! Bapak punya anak sama wanita yang mana lagi?! Ya Ragas!"

"Jangan berseru padaku, jangan meninggikan nada bicaramu." Cengkramannya menguat, seiring nada bicaranya yang semakin merendah. "Biarkan saja."

Apa?

Kashi menoleh dengan tatapan tidak percaya pada Dante. Biarkan? Dante suka melihat kehancuran putranya sendiri? "Pak--"

"Akan kukirimkan orang untuk menjemput dan memukulinya."

"Kalau Anda tidak bisa jadi suami yang baik, minimal jadilah ayah yang baik!" Tak peduli berapa juta kali Dante memperingatkan Kashi soal pentingnya menjaga tone, warna, dan nada bicara, Kashi tetap jadi rebel kelas kakap yang mengesampingkan rasa takutnya.

"Aku tidak perlu diajari soal pola didik oleh wanita yang bahkan tidak kutuntut untuk jadi seorang ibu. Diamlah, kamu cuma dianggap selir."

"SAYA MENGAJARI ORANG YANG SAYA ANGGAP TIDAK TAU. ANDA--mmh."

Kashi dicium.

Pagutan dalam memaksanya diam. Terbungkam.

"Berisik." Hanya itu yang dikatakan Dante di sela lahapannya. Di sela serangannya pada Kashi.

"Anda penjahat paling antagonis dalam hidup saya, Pak," komentar Kashi sambil terengah-engah. Mau tak mau, ia bertumpu pada bahu kokoh dari seseorang yang menertawai nasibnya secara habis-habisan. Napasnya sampai menyentuh batas tak aman.

"Penjahat?" Dante tertawa sinis. "Aku bahkan bisa jadi dewa kematianmu."

Kashi agak tersinggung dengan setiap kata yang terucap dari bibir Dante.

Dante tampak membenahi posisi jasnya setelah sukses mengacak-acak Kashi. "Kalau masih suka dengan putraku, minimal tahu dirilah."

Sial, SIALAN. Berdiri di atas empati pun tampak salah di mata iblis itu.

Di balik pintu, bertumpu pada pantry dengan segelas anggur mahal, Michelia sibuk menahan tawanya.

~

"Bu, bibirnya ibu kepentok apa?" Aland mendampingi Kashi di kelas etiket pertamanya. Setelah serangkaian materi yang memuakkan itu, mereka berjalan berdua di selasar.

"Habis dicium predator," ucap Kashi dengan muka menahan rasa kesal setengah mati.

Langkahnya yang penuh emosi itu terhenti kala ia melewati void utama yang menyajikan kemegahan dari arsitektural istana Haven. Ada satu spot dinding yang berhiaskan lukisan raksasa. Vernishnya--lapisan terluar dari lukisan akrilik--tampak aneh.

"Lukisannya kotor." Mana bentuknya absurd pula.

"Ini lukisan kesayangannya Pak Dante, Bu. Nggak ada yang boleh menyentuhnya."

Larangan adalah perintah.

"Masa?" Nada bicara Kashi terdengar menantang. Detik berikutnya membuat Aland kalang kabut karena Kashi dengan cueknya justru menempelkan jemarinya ke permukaan lukisan itu.

Mr. CEO, Kapan Cintaku Berbalas?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang