27. Meruntuhkan Tembok Pertahanan Dante

96 15 1
                                    

Bagi keluarga Haven, harga sebuah nyawa tak semahal nilai aslinya.

Namun, situasi ini berbeda. Kashi membuatnya berbeda.

"Bajingan." Makian Ragas itu keluar searah dengan pukulan tangannya di bangsal Kashi. Sirine ambulans terus membelah sunyi. Membentuk momen traumatis baru bagi putra satu-satunya A. A. Haven itu. "Menghukum orang itu ada batasnya, Cewek Sialan."

Kashi pejam. Kesadarannya benar-benar hilang. Sejak awal, ia tau harga yang akan ia bayar untuk ini. Kehilangan kesadaran sudah ada di daftar praduganya.

Mana mungkin ia masih bisa membuka mata setelah menurunkan hujan darah.

"Maaf."

Kata itu, maaf. Kata yang tak semua orang bisa mengucapkannya secara lugas. Kata ... yang sejujurnya menyakiti sebagian ego lelaki Ragas.

"GUE MINTA MAAF!"

Tidak ada Dante di sana. Hanya Ragas, Aland, Tim Medis, Kashi, dan sunyi. Dante mengikuti mereka, bersama Aubrey dan Michelia, menaiki SUV yang melaju searah dengan ambulans ke rumah sakit.

Unit Gawat Darurat adalah rujukan pertama Kashi. Penanganannya begitu cekatan. Prosesnya cepat. Yang selalu ada di samping Kashi adalah Ragas. Bahkan sampai dirinya dipindahkan ke VVIP room sebagai layanan rawat inap yang dipilih Ragas.

Pasalnya, pasien bunuh diri wajib mendapatkan pengawasan dan mentoring secara kontinu. Kashi pasti menghabiskan beberapa hari di bawah pantauan tim medis.

Entah pukul berapa pastinya. Namun, setelah nyaris empat jam tak merespon apa-apa, mata Kashi mulai mengerjap lemah. Yang menyapanya pertama kali adalah selang transfusi.

Nomor duanya adalah suara panik Aland.

"BU! IBU HAMPIR BIKIN SAYA JANTUNGAN!"

"Saya bukan ibumu." Jawaban lirih Kashi yang bernada menyebalkan itu membuat Aland kontan melotot di tempatnya berdiri.

Ragas, di sampingnya, pejam begitu erat. Lega, kesal, marah. Ia tak beranjak sedetikpun dari sisi Kashi.

"Aku ibumu, yang anakku itu kamu," celetuk Kashi pada Ragas, tiba-tiba.

Pupil mata Ragas sempat membesar sebelum ia menggeleng tak percaya. Konyol. "Cewek bodoh," makinya kasar. Meski begitu, matanya menyiratkan kelegaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Di sisi lain, orang ketiga di ruangan itu adalah Amadeo Andante Haven. Setelah mengusir Michelia dan Aubrey, ia diam tak berkutik. Lelaki itu menyadarkan punggungnya pada dinginnya tembok rumah sakit dengan kedua tangan bersilangan di depan dada.

Arogansinya masih ada, tapi matanya menyiratkan kekalahan.

"Kalau kamu memang ingin mati, seharusnya, kamu bilang padaku," ucapnya pada Kashi, membuka dialog dingin mereka. "Seharusnya, kamu tidak mengotori kamarku dengan darah."

"Seharusnya, aku tidak bangun lagi agar kamu lebih lega," pancing Kashi, dengan suara yang terkesan kehabisan napas. Ia masih lemah, nyaris pingsan lagi setelah mendengar teriakan Aland tadi.

"Seharusnya juga, kupastikan pintunya terkunci agar kamu merasakan bagaimana lelahnya menyiapkan pemakaman orang."

Hening.

"MAUMU APA, KASHIKA?!" Siapa sangka jika Dante akan berteriak sekeras itu di ruang perawatan.

"Shut up." Untuk kali pertama di sepanjang hidupnya menjadi seorang Haven, Ragas melakukan perlawanan masif pada ayahnya sendiri. "Berhentilah."

Mereka sama-sama mati gerak. Bahkan Aland, pelerai paling kompeten itu tiba-tiba saja ikut terbungkam.

Kashi sempat menyipitkan matanya. Ia sedang memikirkan ide gila. Bahkan, setelah ia membuat hujan darah saja, Dante tetap tidak mau mengaku kalah secara terang-terangan. Egonya begitu tinggi, entah power jenis apa yang ingin ia tunjukkan di depan semua orang.

Mr. CEO, Kapan Cintaku Berbalas?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang