08. Malam Paling Traumatis

158 14 0
                                    

Kediaman Haven itu seakan sedingin es abadi meski kemegahannya tak pernah terbayangkan oleh Kashi. Setelah pesta pernikahan dan peresmian nerakanya itu, ia langsung boyongan ke sangkar emas milik Dante.

Tak ada air mata atau drama sejenisnya ketika orang tuanya melepasnya. Mereka tersenyum sambil membawakan koper Kashi yang super berat, berjalan dengan rapalan doa-doa dan harapan baik mereka.

Kashi memaki dalam hati, apa mereka tidak sadar bahwa yang mereka lakukan pada Kashi membuatnya terancam sengsara di sisa hidupnya?

"Anggap saja rumah sendiri, Kashi." Nancy Haven membelai bahunya dengan seulas senyum tipis. Ia tak terlihat tinggal di sini karena setelah itu ia langsung pergi.

Mati. Lalu, siapa saja yang tinggal di sini?

"Pak Dante." Kashi tak punya pilihan lain selain bicara dengan orang yang tampak masih sensi dengannya. OKE, kalau boleh jujur, ia tak terlalu kenal dengan pesaing bisnis Dante itu.

Mantan pacar Jaden alias musuh Dante yang entah mengapa malah diundang ke pernikahannya itu pernah satu komunitas dengannya. Di komunitas pencinta anggrek. Mereka sering bertransaksi dan main berdua. Karena itu, ia jadi mengenal Jaden. Pun, ia tak pernah bertemu lagi dengannya setelah Felicia--mantan pacar Jaden--putus dengan Jaden.

Tapi mana sempat Kashi menjelaskannya pada Dante. Dipikir-pikir, Dante terlalu kekanakan untuk usianya yang nyerempet duda matang karena demi Tuhan DANTE LANGSUNG MARAH PADA KASHI.

"Pak, kalau didiemin begini, lama-lama saya lari beneran ke pelukan Jaden."

"Tutup mulutmu. Sudah jadi barang barter tapi masih mau merendahkan harga dirimu lebih jauh lagi?"

Kashi praktis buang muka. Kenapa setiap kata yang terucap dari mulutnya selalu terasa menyakitkan, sih? Padahal, niat hati, ia ingin menanyakan pada Dante di mana ia boleh tidur. Ia ingin menangis sambil nonton minion di ruangan yang isinya cuma dirinya sendiri.

Interaksi dingin itu terdistraksi manakala Ragas tiba-tiba berjalan berkebalikan arah dengan Kashi yang masih memakai baju pengantin. Cewek itu nyaris pingsan ketika ia mengingat status barunya sebagai ibu tiri Ragas.

"Udah gue peringatkan soal konsekuensi, tapi lo tetep milih neraka," ucapnya sambil mengarahkan telunjuk persis ke muka Kashi. "Selamat menikmati neraka lo sendiri, Kashika."

"Ragas, turunkan tanganmu." Dante memperingatkannya dengan nada yang membunuh. "Dia ibumu sekarang."

Dante tak peduli dengan Kashi, tapi ia peduli dengan Ragas. Ia ingin Ragas paham apa itu sopan santun.

Kashi meneguk ludahnya. Ia cukup gelisah menghadapi konfrontasi ini.

"Kalau papa tau siapa dia, papa--"

"Dia mantan pacarmu. Aku tau." Dante mengatakannya sambil mengalihkan pandangan ke mata putra semata wayangnya itu. Mereka saling tatap, saling hunus dalam konfrontasi mereka itu. "Masuk ke kamarmu, mau ke mana kamu malam-malam begini?"

"Sialan." Ragas mengepalkan tangan sampai buku jarinya memutih semua. "SIALAN!"

Ragas memberontak dua kali lebih bebal daripada biasanya. Seringnya, ia akan menurut ketika Dante mulai mengancamnya. Namun, kali ini berbeda.

"RAGAS!" Kashi yang menyerukannya ketika Ragas pergi dengan mata penuh kabut dendam dan emosi. Ia menuju ke garasi, tempatnya memarkirkan sederetan kendaraan mewah.

"Pak Dante, dia--"

"Biarkan."

"Tapi, dia--"

"BIARKAN SAJA!"

Mr. CEO, Kapan Cintaku Berbalas?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang