81. Tenangnya Badai

90 13 0
                                    

Mount Elizabeth, Singapura. Dalam penanganan hematologi terbaik di Asia Tenggara.

"Kamu nggak lelah, ya?" monolog Dante. Kala itu, kondisi Kashi sudah lebih stabil dan tanpa menunggu lebih lama lagi, ia diterbangkan bersama Kaia dengan layanan medis udara.

Nancy mau bukan hanya kondisinya yang lewat dari masa-masa kritis, tapi juga pemutusan rantai thalasemia dan langkah antisipasi paling tepat.

Mereka sudah terlalu letih dengan penyakit genetika itu.

Dante mengelus pipi Kashi yang rona merah alaminya belum pudar. Wanitanya itu tetap setia dalam pejam, dan Dante juga sesetia itu untuk tidak beranjak darinya barang sedetikpun.

Dante merasa kehilangan momen yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Perihal Kashi yang sampai seperti ini, ia juga merasa sangat berdosa.

Sebuah pertanyaan menyeruak, menyerangnya, kenapa ia tidak menemukannya lebih cepat dan kenapa-kenapa yang lain.

Tapi penyesalan takkan bisa membawanya pada apapun.

"Bangunlah, biar kamu bisa mendengarku minta maaf seribu kali. Itu kan yang ingin kamu dengar dariku?" Dante sudah sangat putus asa, Kashi belum sadar padahal sudah lewat dari perkiraan seharusnya ia sadar.

Pasalnya, kondisinya sudah membaik di Singapura, tapi ia seakan 'mengerjai' Dante dengan tidak membuka matanya sama sekali.

Dante itu non-religius, tapi ia mengingat Tuhan sejuta kali karena Kashi. Arogan, sombong. Dante merasa telah memiliki segalanya dan karena Kashi, ia sadar bahwa ia masih sangat kecil dari posisi tangguh tanpa bantuan siapa-siapa.

Berulang kali Dante mengecupi dahi Kashi, dalam harap dan doa terdalamnya.

"Kumohon ... kumohon, Kashi."

Cara kerja semesta itu memang tidak bisa ditebak. Dan entah dari mana bermulanya, tapi Dante dapat merasakan pergerakan lembut di ujung jemari Kashi yang selalu ia pancing untuk meresponnya.

"Kashi ...." Dante terperangah ketika ia menatap ke arah bangsal.

Wanitanya ... mengerjap.

"KASHI!"

"Ka ... ia ...."

~

Beberapa saat lalu, dalam pembicaraan antara Hosea dengan Rhea.

Sejujurnya, Rhea tidak punya sesuatu untuk dikatakan pada Hosea. Ia hanya mengingat ucapan Ted padanya tempo hari itu sesekali.

Karena masalah utamanya memang bukan Atlas, yang menjadi konflik dari puncak letihnya, tapi perilaku Hosea yang keterlaluan padanya.

"Apa kab--"

Hosea membuat pertanyaan Rhea itu mengambang di udara karena lelaki itu memeluknya erat-erat lebih dulu. Napas panasnya menyapu tengkuk Rhea, membuat cewek itu merinding di satu waktu.

"Aku benar-benar minta maaf. Kamu pasti merasa sakit karena terus ada di sampingku. Semelelahkan itu, ya?"

Rhea diam saja. Pertama, karena ia tidak tau harus merespon apa. Kedua, Rhea terkejut. Hosea adalah lelaki dengan ego setinggi cakrawala, ia tidak mengakui kesalahannya dengan mudah.

Tapi di samping Ragas dan Dante, dengan segala kestabilan meski ia masih belum nyaman, Hosea mulai berbenah. Dante bukanlah orang yang baik, tapi ia jadi jauh lebih baik, dan ia mau Hosea berbenah juga.

"Lelah." Akhirnya, kata itu yang keluar dari mulut Rhea.

"Marahlah." Hosea mengatakan itu sambil terus mengeratkan pelukannya, meski ia tau jika Rhea tidak akan membalas pelukan itu.

Mr. CEO, Kapan Cintaku Berbalas?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang