71. Persaudaraan Yang Berharga

67 13 0
                                    

Sudah berapa lama ... aku tidur?

Sudah berapa lama ... aku meninggalkan yang semestinya kuselamatkan secara mati-matian?

Zeta ambruk, Kashi belum pulang, aku tidak melihat Ragas belakangan ini.

Ke mana?

Kenapa ...? Kenapa ... aku kehilangan segalanya?

Tiba-tiba, aroma obat menyeruak. Memenuhi rongga dada Dante. Menyadarkannya.

Ketika Dante mengerjap, alih-alih didampingi orang yang familiar dengan dengannya, Dante justru mendapati orang aneh yang menempatkan mukanya persis di depan muka Dante. Ia ... KAGET.

"Eh? Adek sadar juga akhirnya." Orang itu tertawa sambil menoel-noel otot perut Dante. "Wah, badan adek spek sugar daddy juga, ya? Seksi gini."

Bugh!

Dante menampolnya dengan sisa-sisa tenaga. Membuat orang itu mundur sambil memaki Dante.

"ANAK SETAN!"

Amuro Dregir Haven. Dante benci senyumnya, seperti senyum penjahat kelamin.

"Ngapain kamu?" tanya Dante, tak ramah. Ia hampir lupa jika ia punya kakak sesinting Dregir.

Mukanya aneh, Dregir terlalu ekspresif. Sering manyun, gampang monyong. Dante pernah memanggilnya muka kodok.

Dante tau dia tampan, beberapa orang bilang lebih tampan dari Dante, asalkan mereka melihatnya jika Dregir sedang tidur.

Selebihnya, jelek mampus. Menurut Dante.

Intinya, Dante tidak suka dengan dia.

"Mana Aubrey?" tanya Dante, dengan napas putus-putus. Mendadak, ia merasa jantungnya nyaris meledak. Tuhan, kenapa lagi?

Dregir menyentak tubuh Dante agar kembali rebah dan mencengkram bahu adiknya dengan tangannya yang besar itu. Ia memaksa Dante untuk istirahat lewat aksi, bukan kata-kata.

Yang keluar dari mulut Dregir itu akan dan selalu konyol, tapi ia peduli kok. Buktinya, tangan kakinya menolong Dante. Iya, kakinya juga. Ia naikkan sebagai ancaman.

Agar kalau Dante tidak mau istirahat, tinggal ia tendang.

"Aku lupa deh yang mana Aubrey itu. Yang dadanya 38 D atau yang tekcil pendek itu?"

Dante menyipitkan mata ketika memandang Dregir, sambil meraup dadanya sendiri yang makin terasa nyeri. Dia ngomong apa, sih?

"Tekcil. Nggak tau? Tetek kec—"

Bugh!

Dante menampolnya sekali lagi.

"Tolol, panggilkan yang ada saja, asal bukan kamu. Aku butuh laptopku," mohonnya pada Dregir yang cuma senyam-senyum seperti habis menang lotre.

"Kamu masih kaku, ya." Lalu, Dregir duduk. Kakinya bersilangan. Dengan santainya, ia menuang anggur.

Dante membeliak. Dia bisa menyeludupkan itu ke rumah sakit?!

"Mau?"

Dante sudah tidak bisa bicara apa-apa lagi. Ia mulai mencari nomor security.

Dregir tertawa. Ia mengacungkan buku telepon dan menunjukkan bahwa bel di sisi bangsal sudah ia tempeli permen karet agar Dante tidak memencetnya.

"Dregir, kamu sudah bau tanah—" Dante berusaha memperingatkannya agar ia berlaku yang normal-normal saja.

"Masa? Aku masih di awal empat puluh tuh," jawabnya. Lalu, ia menopang dagunya sambil memainkan gelasnya seperti banci. "Aku datang untuk menyelamatkanmu."

Mr. CEO, Kapan Cintaku Berbalas?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang