52. Kencan Dengan A. A. Haven

90 14 0
                                    

Bukan rumah sakit main-main yang menjadi tempat rujukan Kashi untuk kehamilannya itu. Nancy Haven memilihkan rumah sakit kelas satu. Kala itu, konsultasi dan pengecekan berkala Kashi terkesan dilakukan secara tertutup.

Hell, tidak ada yang mengantri sebelumnya di sini. Satu-satunya pasien dokter kandungan itu hanya Kashi.

Banyak hal yang Kashi dengar termasuk pentingnya vitamin prenatal, asam folat, protein, dan pantangan-pantangan lain yang sejujurnya cukup memusingkan untuk Kashi dengar.

Dante itu lebih menyebalkan lagi. Di dalam ruangan konsultasi, mukanya datar. Bahkan terkesan menahan kantuk. Tapi Kashi tidak bisa marah karena begitu ia memintanya untuk mengulangi pesan-pesan dokter itu, ia bisa menyebutkannya secara presisi tanpa salah satu katapun.

Lantas, sepulang pengecekan, Dante membukakan pintu mobil untuk Kashi. Wanita itu agak kagok. Ia menyadari betul perubahan Dante ini.

"Mau ke mana?" tanya Kashi, bingung. Arah kepergian mereka bukan menuju mansion keluarga Haven.

"Makan malam romantis di tempat privat," jawab Dante, sambil bermanuver halus dengan mobilnya. "Stargazing juga, kalau kamu mau."

Stargazing, kegiatan melihat bintang karena Dante memesan total selantai restoran sampai ke rooftopnya.

Kashi diam, tenggelam dalam lamunan, itu ... kegiatan yang normal untuk orang yang menikah tanpa dasar cinta?

Terdengar ... terlalu romantis.

"Kenapa harus menyewa restonya? Kamu bingung harus membuang-buang uang dengan cara apa lagi? Alirkan saja ke rekeningku. Nggak perlu stargazing," jawab Kashi, sambil bertopang dagu.

"Jangan buat moodku untuk berbuat baik jadi hancur lebur, Sayangku," ucap Dante, sebelum kembali fokus pada setirnya.

"Belakangan ini, kenapa kamu tidak pernah memunculkanku di depan rekan-rekan bisnismu? Padahal, aku sudah susah-susah belajar etiket, loh."

Dante diam. Kashi tau alasannya, tapi ia denial. Alasannya untuk keamanan Kashi dan Haven kecil di dalam perutnya itu.

"Hm, bukankah hidup seperti ini yang kamu mau?"

"Seperti ... ini?" tanya Kashi, ragu. Maksudnya?

"Hidup tanpa ancaman. Aku sedang berusaha mengabulkannya."

Kashi diam. Ia melempar tatapannya ke arah jalanan yang entah mengapa jadi sepi.

"Kenapa? Kamu tidak percaya padak--"

"Bukan hidup tanpa ancaman yang kuinginkan, tapi hidup dengan kebahagiaan. Rasa aman sampai mati itu cuma ... bualan. Nggak akan ada, Mr. CEO," ucapnya, menyalak.

Kali ini, Dantelah yang bungkam.

"Dan kebahagiaan dalam pernikahan itu ... selalu didapatkan dari cinta."

Pupil Dante melebar, tapi ia menahan dirinya untuk tidak menatap Kashi.

Kashi sendiri kembali membuang mukanya ke arah jendela. Bertemankan sepi. Tau bahwa ia tidak boleh berharap banyak pada Dante.

Sejujurnya, dalam keadaan normal sekalipun, Kashi mungkin tidak akan memilih untuk dipersunting lelaki yang serba tinggi seperti Dante. Tinggi dalam hal kelas sosial, kehormatan, harta benda bawaan leluhur maupun aset yang dibesarkan sendiri.

Kashi akan memilih lelaki yang bisa mencintainya dengan tulus, meskipun mereka harus tidur di kamar yang tak sebesar milik Dante.

Dalam keadaan ekonomi cukup, tanpa perlu sekaya ini, mendapatkan cinta saja sudah memenuhi semua yang dibutuhkan Kashi.

Mr. CEO, Kapan Cintaku Berbalas?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang