38. Siapa?

45 7 0
                                    


          Pulang sekolah adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh siapapun. Termasuk Deera yang tadinya mewanti-wanti kehadiran circle pertemanan Zizi yang mulai saat ini sudah mengibarkan bendera perang. Banyak hal yang sebenarnya Deera khawatirkan, tapi masalah semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Memiliki persoalan dengan Zizi, sebelumnya tidak pernah direncanakan. Semua ini muncul secara tiba-tiba—seolah ingin Deera menjadi penghuni bumi yang paling sengsara.

          "Hahh..." Menghela nafas, Deera kemudian merapikan helaian rambut yang beterbangan disinggung udara. Tindakan itu menarik atensi laki-laki di sampingnya.

          "Kamu bisa kasih tahu sekarang, toh ga ada yang dengerin." Vincent memasukkan ponsel setelah menghubungi seseorang. Seperti yang sudah-sudah, Deera berasumsi itu adalah rekan kerja kekasihnya.

          "Aku, hmm...tadi waktu pergi ke toilet sekolah, aku sempat kena labrak sama teman-teman Zizi. Mereka pojokin aku karena udah berani ngerebut kamu dari dia." Deera menundukkan pandangan pada akhirnya. Tidak berani melihat Vincent yang sayup terdiam.

          "Trus, kamu di apain lagi? Mereka bikin kamu luka?" Tanya laki-laki itu lagi.

          Deera menggeleng. Menggaruk hidung yang tidak gatal. "Engga sih, mereka cuman gertak pake kata-kata aja. Tapi mungkin ke depannya mereka bakal ganggu aku terus. Kamu tahu, 'kan? Geng mereka suka bikin onar gitu."

          Vincent mengangguk pelan dengan tatapan yang masih terpaku pada Deera. Lalu setelahnya gadis itu melanjutkan, "aku ga tahu mereka bakal labrak aku lagi atau enggak, tapi feeling aku bilang mereka pasti ngelakuin itu lagi."

          Menoleh pada kekasihnya lantas Deera bertanya, "kamu nanti ngelindungin aku, 'kan?"

          Bukannya mengangguk, Vincent malah membalas pertanyaan dengan sebuah pertanyaan. Laki-laki itu bilang, "Orang-orang itu, kamu mau aku balas perbuatan mereka?"

          Suara Vincent yang berat dan serius membuat langkah kaki Deera terhenti. Ia sudah hafal tentang situasi seperti ini.

          Tatkala Vincent sudah mulai memberi tatapan serius, bersamaan dengan suara berat yang mengintimidasi, Deera tahu bahwa respon selanjutnya bukanlah sesuatu yang baik-baik saja. Sisi kelam yang melekat di diri Vincent semenjak laki-laki itu masih kecil, tetap saja menempel erat layaknya parasit permanen.

          Bergidik ngeri. Jemari Deera mengerat pada tas tali. Sejak awal ia seharusnya tak memancing perkara dengan ke protektifan seorang Vincent padanya. Karena jikalau saja laki-laki itu mendengar Deera mendapatkan masalah, Vincent akan turun tangan dengan membawa urusan yang tidak mudah.

          Laki-laki itu akan melindunginya mati-matian. Lalu menjadikan segala cara untuk mencapai tujuan ke protektifan-nya.

          Namun ini terpancing oleh mental Deera yang sudah tergoyahkan. Anak-anak perempuan itu memaksa Deera melakukan nya. Dan kini, ia harus membuat api yang tersulut menjadi padam. Vincent secepatnya untuk ditenangkan.

          "Bu-bukan gitu, aku ga minta kamu buat balas mereka. Aku cuman bilang, aku mau kamu ngelindungin aku. Gitu aja." Deera menelan gumpalan dalam tenggorokannya. "Kamu ga perlu berbuat sesuatu yang fatal, Vin. Aku takut kamu kena imbasnya."

          "Tapi aku juga ga bisa diam aja kalau kamu diperlakuin semau mereka. Andai kata mereka main tangan sama kamu, aku pastiin hidup mereka bakal kayak neraka. Mereka ga akan tenang, aku bisa jamin itu."

          Perasaan gelisah menjalar ke dalam relung hati. Deera tak bermaksud untuk membuat akhir percakapan mereka menjadi seperti ini. Ia menggeleng keras pada Vincent sembari memperlihatkan raut wajah paniknya. "Vin, jangan gitu."

VINCENT OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang