50. Nafsu

202 10 0
                                    



          "Kamu pisahin bibitnya aja. Bikin jadi dua biji." Vincent berkata pelan pada Deera yang tengah mengomel—bersikeras ingin membantu. Sedari tadi saat duduk di teras, Deera hanya diperbolehkan untuk melihat Vincent yang sedang menyusun beberapa pot yang akan diisi oleh tanah dan pupuk organik.

          Bosan sekali. Rasanya tubuh mulai kekurangan energi lantaran aktivitas yang dikurangi. Suntuk melanda hebat, menerjang segala ekosistem tubuh yang tengah bertahan hidup dan gatal ingin bekerja. Deera tentu tidak ingin jarang bergerak seperti orang tua renta. Nanti yang ada ia mendapatkan pengeroposan tulang di usia muda.

          "Masa itu aja?" Gerutu Deera.

          "Ya udah bikinin aku minum sekali kalau gitu."

          Cemberut, Vincent masih seakan bungkam dengan keinginan Deera yang sebenarnya. Dengan ketidak ikhlasan hati, lantas kaki itu menghentak saat akan berjalan menuju ke dalam rumah. Menghampiri dapur guna membuat kekasihnya minuman penghilang dahaga.

          Sementara di sisi lain, Vincent hanya bisa menggeleng maklum. Menghadapi sisi Deera yang suka ingin melakukan sesuatu, penasaran dengan ini itu, menyertakan kedua tangannya dengan sukarela.

          Sebenarnya Vincent mau-mau saja, tapi ia takut jika suatu saat Deera akan mengeluh karena tinggal bersamanya setelah ikut mengurusi semua masalah di rumah baru mereka. Jadi lebih baik Vincent saja yang mengerjakannya. Deera cukup diam seperti seorang Ratu yang tidak berbuat apa-apa.

          Di pagi hari menuju siang yang sedikit terik ini, Vincent berusaha membuat halaman rumah itu menjadi bagus. Setelah kemarin hari mencabut rumput dan tanaman liar lain yang mengganggu kenyamanan pandangannya, kini Vincent melanjutkan semua tugas itu dengan membuat tanaman hias baru yang akan ditempati disana.

          Berencana menanam bunga matahari, Vincent terlebih dahulu menyiapkan tanah. Mencampurnya dengan pupuk organik yang ia beli kemarin hari. Mengumpulkan di satu tempat, lalu membiarkan kering sementara waktu disana.

          Vincent mengibas-ngibaskan wajahnya dengan topi. Keringat bercucuran deras. Untung ada lap kain yang sengaja ia tempatkan di dalam saku sebagai pembersih keringatnya itu.

          Sembari beristirahat di teras untuk menunggu Deera yang tengah menyiapkan minuman di dapur, Vincent melihat seorang pria tua dari rumah sebelah— atau Kakek Agus yang mengunjunginya kemarin malam, tengah datang menuju padanya seraya tersenyum melambaikan tangan.

          Vincent tanpa ragu membalas lambaian itu. Mempersilahkan si Kakek Agus untuk duduk di sampingnya. "Kek, ada perlu apa datang kesini?"

          "Ga ada Vin, Kakek cuman suntuk aja di rumah. Nenek tadi lagi tidur pas udah selesai masak." Pria itu melihat kearah halaman Vincent. "Kamu lagi bersihin ini semua?"

          Vincent mengangguk. "Iya, Kek. Soalnya banyak nyamuk gitu, istri Vincent jadi sering kena gigit."

          "Oh pantes, disini memang banyak nyamuknya, besar-besar pula. Ya, namanya daerah hutan, lembab, nyamuk jadi cepat kembang biaknya 'kan?" Kakek Agus mengangguk dan tertawa mengenai pernyataannya sendiri. Karena sebelum Vincent tinggal disini, ia terlebih dulu merasakan apa pengantin baru itu rasakan.

          Setiap malam selalu saja mendapatkan serangan gigitan nyamuk yang ganas.

          "Kalian udah pakai obat nyamuk?"

          "Udah Kek, tapi Vincent kasihan, kalau keterusan pakai obat nyamuk, 'kan ga bagus buat kesehatan. Jadi Vincent langsung beresin yang sumber masalahnya aja." Lantas Vincent mengarahkan jemarinya pada suatu arah. "Itu mau Vincent bersihin Kek, biar ga ada lagi air hujan yang ke tampung. Kalau yang itu Vincent mau Vincent bongkar, soalnya udah lapuk gitu. Jadi mau Vincent ganti baru."

VINCENT OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang