Suara musik dari boxing machine di ruang rekreasi rumah Aji dan Hazel itu menggema dengan suara benturan tinju yang menandingi suara musik.Kaivan, remaja yang saat ini sibuk melayangkan pukulan dengan kuat sesuai ritme musik keras yang terdengar. Basah keringat di beberapa bagian tubuhnya menjelaskan sebanyak apa ia telah melakukan hal tersebut.
Bahkan music boxing yang menempel di dinding itu seolah ingin dihancurkan. Tatapan tajam pada setiap titik pukulan yang dilayangkan juga seolah mengekspresikan emosinya saat ini.
Sesuatu di kepalanya terus berputar dan ia merasa marah. Membuat pukulannya menjadi semakin kuat.
Kaivan adalah seorang naif.
Kai tidak membantah kalimat itu saat ini. Karena memang ya, itulah dirinya. Seolah tetap menjadi pengecut yang bersembunyi dalam pemikiran positif.
Ketika hatinya bahkan bisa merasakan semua hal negatif yang terjadi saat ini.
Kai tidak sebodoh itu untuk menyadari bagaimana Papi mulai menunjukan rasa tidak sukanya pada pilihan sang anak dengan berusaha menampar kewarasannya. Bagaimana Papi membawa serta Alvaro pada gelembung obrolan mereka beberapa hari terakhir ini.
Bagaimana orang yang sangat dihormati dan ia sayangi itu juga dengan terang-terangan menunjukan sikap lembutnya pada Kakak dari kekasihnya di depan keluarga besar dan kerabat. Seolah menjelaskan pada Kai, bahwa itu yang akan ia lakukan pada kekasihnya jika Kai memilih pilihan yang benar.
Jika Kai membawa seseorang yang disukainya, maka Papi akan membanggakan nya dan memberi ia kasih sayang dengan bentuk yang beragam.
Tapi itu menyakitinya.
Menyakitinya setelah ia merasakan bagaimana Levano lebih banyak diam setelah malam itu. Ia tidak marah ataupun senang, ia hanya diam, seolah terlalu sakit hati untuk mengungkapkan bagaimana perasaannya.
Mereka tidak bertemu lagi setelahnya, Kai memiliki agenda bersama keluarga Biantara dan kerabat-kerabat yang sengaja datang untuknya. Levano juga tidak lagi memaksanya untuk selalu mengabari, mereka hanya bertemu di sekolah sesekali.
Saat makan siang dengan memilih dua meja berbeda yang saling berhadapan. Hingga Levano menghampirinya di ruang ganti, mengatakan tentang hadiah ulang tahun yang masih belum ia berikan, lalu mengatakan suatu kalimat yang sangat tidak Kai sukai.
"Gue masih ragu buat ngasih kado nya, apa yang gue kasih buat lo gak akan pernah lebih berharga dari hal kecil yang lo punya setiap hari"
Levano seolah menempatkan dirinya sangat rendah di hadapan Kai. Sangat rendah bahkan dibanding sepatu mahal yang Kai injak.
Sangat bukan Levano. Yang sejak dulu menempatkan dirinya sendiri lebih tinggi dari Kai, yang sejak dulu selalu menunjukan bahwa ia berada jauh di atas Kai.
Dan Kai yakin semua itu berubah setelah bagaimana Levano melihat perbedaan perlakuan keluarganya pada Alvaro dibanding dirinya. Cara orang memandang hebat Alvaro namun mengabaikan eksistensinya. Tentang pujian dan rasa kagum yang membuat Alvaro seolah jadi tamu yang lebih penting untuk Kai dibanding ia yang memiliki label kekasihnya diantaranya.
Levano selalu membenci kalah. Tapi ia berkali-kali kalah.
Bahkan setelah merasakan satu kemenangan tentang mendapatkan hati Kai.
Ia masih kalah dalam mencuri hati orang-orang di sekitar Kai. Dan ia membuat Kai berada di dalam masalah hanya karena memilihnya.
"Apapun yang berkaitan sama gue, yang datangnya dari gue, selalu jadi masalah, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope That Will Be The End of Us
FanfictionBagian lain dari Jiyel Universe yang belum tersampaikan. Setiap orang memiliki akhir bahagia versi mereka sendiri, akhir bahagia yang memiliki beragam sisi, akhir bahagia yang kadang tak seindah seni, dan apa yang telah terlewati juga akan terjadi s...