"Gimana, Mbak? Dimakan sama Kai?"Hazel menatap Mbak Tia yang turun membawa nampan bekas makanan Kai dengan penuh harap, ia menghela nafas lega saat wanita pengasuh anaknya mengangguk dan mengatakan bahwa Kai memakan sebagian makanan yang telah disiapkan nya.
"Makannya jangan terlalu khawatir, yel. Terus diperhatiin aja anaknya, dipantau. Gak perlu dipaksa keluar kamar gabung sama kita di sini, malah makin emosi ntar dia."
Aji yang sibuk di depan laptopnya menanggapi. Situasi ini telah berlangsung selama dua hari sejak Kai mendapati Papa berbicara dengan Levano tentang hal yang seharusnya masih bisa ia hadapi dengan perlahan.
Ia marah dan mengamuk, cukup membuat Hazel dan Aji terkejut karena sang anak terbiasa memendam emosinya dan melampiaskan dengan cara yang baik. Tapi hari itu berbeda, Kai yang bebas mungkin telah menemukan cara mengatur emosinya sendiri, ia tidak lagi menahan dan menutupi.
Ia marah, maka ia berteriak mengungkapkan semua kemarahannya. Ia melempar barangnya sebagai pelampiasan dari rasa kecewa tentang bagaimana marahnya tidak akan mengubah apapun. Ia menangis karena merasa putus asa, juga merasa bersalah dengan bagaimana ia bersikap kasar di depan orang tuanya sendiri.
Untunglah Aji mengerti, walau Hazel ikut menangis dan hampir menarik anaknya jauh dari Aji, suaminya itu ternyata bersikap lebih tenang dari sang terkasih.
Aji hanya merasa bahwa Kai berhak bersikap seperti itu setidaknya selama ia masih menjadi seorang anak yang belum dewasa. Kai kecil bahkan tidak pernah tantrum jika bukan karena cedera nya dulu, sehingga melihat Kai bisa melampiaskan emosinya membuat Aji merasa bahwa itu adalah perubahan yang baik dari pengendalian emosi sang anak yang mulai normal.
Kini Kai mengurung diri di kamarnya, hanya menangis dan marah, ia tidak tau harus melakukan apa saat Levano bahkan tidak bisa dihubungi, love signal dari gelangnya pun tidak pernah mendapat jawaban.
Kai berfikir bahwa Levano kini telah membencinya, kekasihnya itu kecewa padanya, dari bagaimana Levano menatapnya terakhir kali, Kai bisa memastikan bahwa Levano terluka lebih besar darinya.
Anak panah yang sejak dulu berada di belakang punggungnya kini telah menancap satu persatu dengan tepat menembus pada letak jantungnya. Itu yang membuat Kai kehilangan arah, ia bahkan tidak tau cara menemui Levano saat orang tuanya selalu berada di rumah untuk mengawasi nya.
Kai salah paham, Aji dan Hazel tidak membawa pekerjaannya ke rumah karena mengawasi Kai agar tidak bertemu Levano. Tapi mereka tetap di rumah untuk memastikan anaknya tidak melakukan hal-hal berlebihan yang berisiko semakin menyakiti fisik serta hatinya.
"Aku ngerasa bersalah sama anak aku.. "
Aji menatap sekilas terkasih nya yang menunjukan raut sedih sambil tetap melanjutkan kegiatannya yang sedang memotong sosis,
".. gak mau aku liat Kai kayak gini terus." Lanjutnya.
"Kamu kalo mau liat anaknya happy terus mah mustahil, yel. Mau diusahain sampe merangkak-rangkak juga gak akan ada manusia yang bisa happy terus. Udah santai aja, patah hati mah wajar. Malah gak wajar manusia gak pernah rasain patah hati sampe kecewa."
Hazel mendengus, lalu memindahkan potongan sosisnya pada mangkuk. Ia sedang berniat membuat homemade pizza walau ia tidak merasa itu ide yang baik saat suasana hatinya berantakan seperti ini.
"Pak yel, Bapak sama Ibu sudah sampai."
Hingga orang tuanya yang menjanjikan akan datang untuk sebuah kepentingan datang lebih cepat dari perkiraan Hazel. Hazel mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum berjalan ke depan untuk menyambut orang tuanya dan membantu membawa bawaan mereka ke dalam bersama Aji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope That Will Be The End of Us
FanfictionBagian lain dari Jiyel Universe yang belum tersampaikan. Setiap orang memiliki akhir bahagia versi mereka sendiri, akhir bahagia yang memiliki beragam sisi, akhir bahagia yang kadang tak seindah seni, dan apa yang telah terlewati juga akan terjadi s...