56

704 67 27
                                    


Suasana kantin di sekolah siang ini sangat ramai dan berisik. Semua anak berbincang-bincang di meja nya sambil menikmati makanan. Beberapa siswa bercanda gurau dan beberapa lainnya sibuk membicarakan siswa di meja lain.

Tapi tidak dengan Kai, yang bahkan tidak merasa berselera untuk sekedar mencicipi makan siangnya. Tangannya tetap memangku dagu dengan pandangan sendu yang tertutupi sebagian rambut berantakannya.

Sejak pagi tadi, Kai bahkan tidak berbicara selama jam pelajaran berlangsung. Membuat teman-temannya, terutama Jeo, menatap heran sahabatnya dan tidak tahan untuk tidak bertanya.

"Biw, kenapa sih? Cerita dong."

Kai hanya melirik Jeo sebelum menyibak rambut nya, duduk lebih tegap, lalu menggeleng. Tangannya mengambil sepotong sosis dan mulai menikmatinya perlahan.

"Sumpah dah.. gak bisa gue begini, lu ada masalah sama Vano?"

Kembali, Kai hanya menatap Jeo lalu menghela nafas. Sebenarnya ya, tapi bukan Levano yang membuat Kai menjadi sangat sendu seharian ini.

Melainkan Papi.

Hatinya dipenuhi rasa bersalah setelah bagaimana ia berani membentak dan melawan Papi semalam. Pergi dari rumah hingga larut hanya untuk menghindar dari Papi yang justru mengkhawatirkan nya.

Kai bahkan tidak berani melihat Papi, ia menghindari sesi sarapan pagi dengan berangkat sekolah sangat pagi tanpa pamit. Ponselnya pun ia tinggalkan di kamarnya, tidak tersentuh sejak semalam, ia tidak tau siapa yang menghubunginya atau kemungkinan ponselnya kehabisan baterai atau tidak.

Kai tidak suka suasana ini, perasaan ini, fakta bahwa ia membuat Papi bersedih dan fakta lain bahwa ia berani bersikap buruk langsung di hadapan orang tersayangnya itu. Ia tidak mengerti kenapa sikapnya menjadi seperti itu, terlalu banyak suara di kepalanya yang sebagian besar membenarkan tindakan tidak sopannya.

Namun hatinya tidak setuju dengan isi kepalanya, sebanyak apapun Kai berfikir bahwa ia berhak menyampaikan ketegasan tentang kebebasannya. Hatinya tetap berteriak bahwa menghargai Papi lebih dari segalanya.

Sehingga kini ia gundah, tidak bersemangat, dan kehilangan selera makan. Ia tiba-tiba merindukan Papi, tidak ada sapaan manis Papi pagi ini. Tidak peduli jika itu terlihat kekanakan dan memalukan tapi Kai sangat ingin pulang dari sekolah untuk berlari memeluk Papi.

"Biw-"

"Bow, lu pernah berantem sama Mama?"

"..."

Jeo menatap bingung Kai sebelum mengangguk, "sering, kenapa? Lu berantem sama Papi? Ah elah ketebak."

Mendengar itu Kai justru menatap Jeo penuh rasa penasaran, "terus? Lu ngerasa bersalah ga karena berantem sama mama lu?"

"Nggak."

"Lah?"

"Udah biasa gue, Mama tuh apa-apa diributin. Perkara sepatu keujanan aja pidato nya udah kek orang demo. Kali-kali harus dilawan, gue bungkam!"

"Hah??" Kai menatap Jeo heran namun tidak benar-benar heran. Keributan antara Jeo dan Mama nya sudah bukan hal yang aneh. Bahkan sejak kecil, saat mereka hanya tau jajan dan bermain, Mama Jeo adalah tipe wanita yang cerewet dan berisik.

"Tapi lo sayang kan sama Mama?"

"Ya iyalah biw, pertanyaan lu...??"

"Ya terus kenapa sering berantem..?"

"Ah elah elu, lu hidup di dunia delapan belas taun taunya apa sih?? Kek apa-apa lu bertanyaa mulu, beginian aja lu kagak paham? Kabiw, gak semua orang tua tuh kayak Papi yel, dan orang tua galak tuh gak berarti hubungannya buruk sama anak. Paham?"

Hope That Will Be The End of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang