Part 42

1.3K 108 8
                                    


Menyaksikan matahari terbit dari salah satu pendopo yang menghadap langsung ke arah timur membuat Jani meneteskan air matanya, istana yang berbentuk bunga teratai  dengan salur emas ini harusnya menjadi salah satu keajaiban dunia terbaik yang pernah ada.

Tidak seperti Harkapura yang berdiri gagah dengan tembok menjulang tinggi juga berlapis untuk melindungi dari mara bahaya musuh yang mengancam, Kerajaan Gulshan berdiri tanpa tembok yang mengitari wilayah ini, solah-olah lautan sudah cukup untuk menghalau bahaya dari luar.

Beberapa bagian dari istana ini menggunakan batu karang dengan bongkahan besar yang di pahat dengan cermat hingga menjadi sangat indah layaknya karya seni, ya Jani mengakui Gulshan adalah karya seni terindah yang pernah Jani lihat seumur hidupnya.

Arangga hanya bisa menatap Jani bingung dengan dahi yang mengerut. "Anda terlihat sangat terpesona dengan tempat ini Raden Ayu." Heran Arangga.

"Apakah kau tidak pernah terpesona ketika pertama kali berada di tempat seindah ini Arangga?" Jani mengamati ekspresi Arangga yang terlihat muak.

"Aku cukup terkesima ketika pertama kali datang,  setelah 2 hari aku hanya ingin melarikkan diri dari tempat yang penuh peraturan ini. Orang sepertiku tidak tahan dengan pengawasan yang di lakukan oleh para tetua yang sangat menujunjung tinggi hal-hal yang mereka anggap luar biasa dan disini banyak sekali hal yang dianggap luar biasa, terkadang di luar batas berpikir. Kepalaku hanya di buat sakit disini." Jani jadi mengerti kenapa Arangga memilih untuk menjaganya hari ini, rupa nya ia benar-benar membenci Gulshan.

Jani menghela nafasnya. "Seharusnya kau pergi bersama Senopati saja, aku merasa tidak tenang kau tidak ikut."

Arangga malah tertawa. "Kerajaan Gulshan tidak terlalu mempedulikan militer seperti kerajaan lainnya, aku bertaruh Byakta bisa membantai seisi pulau ini sendirian jika ia mau. Jangan khawatirkan Senopati, Raden Ayu."

Lagi-lagi Jani menghela nafas, sambil mengusap perutnya. "Aku khawatir suamiku akan jatuh cinta dengan putri Astana, dia wanita tercantik yang pernah kulihat." Bisik Jani pelan yang masih bisa di dengar oleh telinga tajam Arangga. "Memang curigaku menghilang, namun saat melihat putri Astana yang kurasa bisa membuat pria manapun bertekuk lutut di hadapannya, aku melihat diriku sendiri..." Jani tidak melanjutkan kalimatnya, hanya helaan nafas lah yang kembali keluar.

"Berhentilah memiliki perasaan seperti itu Raden Ayu, perasaan seperti itu hanya akan mendorong dirimu kedalam perasaan yang lebih kelam tanpa kau sadari. Ibuku memiliki perasaan seperti itu untuk ayahandaku, rasa cemburunya mengubah dirinya, ibundaku yang tadinya seorang wanita pengasih menjadi wanita kejam tanpa hati." Arangga menatap kosong ke arah pucuk teratai yang sudah menguning akibat matahari.

Mata Jani ikut menatap apa yang Arangga tatap. "Lantas mengapa sang pencipta ikut menciptakan rasa cemburu yang bisa membakar seluruh tubuh hingga habis tak tersisa Arangga?."

Untuk sesaat keheningan tercipta di antara mereka, hanya suara air yang mengalir dengan hawa yang masih terasa dingin yang menyelimuti. "Entahlah, aku tidak pernah merasa cemburu jika selirku menyukai pria lain. Selama tubuhnya masih berada di genggamanku juga nama yang disebut adalah namaku ketika kami menyatu, aku tidak masalah. Kadang aku membiarkan mereka pergi jika sudah menemukan tambatan hati Raden Ayu."

"Itu Karena kau tidak mencintai wanita-wanitamu Raden." Decak Jani.

Arangga tertawa mendengar kalimat itu. "Hahaha memang benar, lagipula aku tidak mau memiliki perasaan yang merepotkan seperti itu. Karena perasaan seperti itu Senopati Byakta itu bahkan menentang perintah Maharaja untuk memulangkanmu ke Harkapura." Arangga membelakan matanya, Byakta akan menghajarnya jika membocorkan rahasia ini.

Cinta Sang Senopati  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang