"Apakah kangmas masih mencinatiku?" Kali ini mata Jani menatap tepat ke mata Byakta dengan dalam.Byakta yang mendengar kalimat Jani tentang rasa cintanya, mulai menyiapkan dirinya kembali untuk melawan serta menghadang api cemburu yang membara dalam dada Anjaninya, Byakta memahami dengan baik rasa cemburu ataupun rasa percaya yang dimiliki oleh seorang istri yang hanya bisa menunggu suaminya pulang dari perjalanan beribu-ribu kilometer yang memisahkan mereka dalam kurun waktu yang tidak sebentar.
Tentu para prajuritnya ada yang memiliki sifat kesatria dengan kesetiaan yang melimpah kepada junjungan juga pada pasangan yang menunggu kepulangan seperti Junta, ada juga yang hanya memiliki sifat kesatria dengan kesetiaan luhur tak terelakkan kepada junjungan, namun selalu bermain-main dengan wanita seperti Arangga.
Bagi Senopati Byakta pertanyaan dari sang kekasih hatinya, tentu saja tidak mengherankan ataupun menyakitkan. walaupun rasa khawatir atas keraguan yang tercipta nyata adanya namun jelas itu adalah hal yang harus diluruskan.
Byakta sadar banyak cinta yang berguguran akibat jarak yang membentang, Byakta juga menyaksikan banyak cinta yang hangus terbakar akibat kesetiaan yang hilang, mungkin saja memang kata setia tidak pernah di ikrar dengan benar sejak awal.
Byakta mengecup bibir istrinya di bawah cahaya matahari yang tersisa, memandang dalam pada mata istrinya yang mengharapkan perkataan 'ya aku mencintaimu kasih-ku'. Namun Byakta merasa itu perkataan yang selalu Arangga ataupun Maharaja katakan kepada setiap wanita yang sedang dalam pelukan mereka, bukan hal yang istimewa.
Setelah kecupan itu Byakta memilih melanjutkan langkahnya menerjang ombak yang sudah hampir meninggi karena air sudah mulai pasang. Jani terdiam seribu bahasa karena tidak ada sepatah kata yang terucap dari bibir suaminya, membuat pikirannya berkelana dengan perasaan yang menyentil hatinya.
Byakta melanjutkan menggendong istrinya hingga sampai di kamar remang mereka dengan lilin yang lupa dimatikan, mendudukan Jani di pinggir Ranjang, kemudian berjongkok sambil menggenggam jari lentik istrinya yang sudah terlihat cukup menggemaskan. "Apa kau mengkhawatirkan kangmas jatuh cinta dengan wanita lain ketika kau sedang tidak ada di sisi kangmas Anjani?"
Jani memandan wajah suaminya kemudian mengagumkan kepala tanpa ragu. "Aku tahu mestinya aku memang tidak memiliki perasaan meragukan kangmas seperti ini...dengan apa yang sudah kangmas berikan kepadaku, tentu saja hal seperti ini seharusnya tidak terjadi.."
Byakta menyatukan kening mereka dengan kecupan yang kembali ia berikan di bibir dan kening sang kekasih, membuat Jani seketika terdiam di tengah perkataannya. "Daripada waktu kebersamaan, kangmas sadar kangmas lebih sering meninggalkanmu dari pada berada di sisimu. Satu-satunya yang kau bisa pegang dari hubungan ini adalah rasa percaya di dalam dirimu, kangmas berterima kasih untuk itu kasihku. Kangmas juga berterima kasih kau masih memiliki rasa cemburu, setelah sekian waktu tidak ada di sisimu." Pada kesempatan ini, hanya mata mereka yang ter selimuti oleh rasa cinta dan kasih yang berbicara untuk sekian menit, menemukan jawaban-jawaban yang tidak bisa dikemukakan dengan kata.
kemudian bibir mereka yang berpagut pelan dengan mesra yang menjadi penghujung pergolakan api cemburu, juga debaran pacu jantung yang dirindu dalam asmara yang terjalin. Byakta membaringkan Jani ke ranjang, menyibak kain Jarik setengah basah akibat ombak yang menerpa kaki istrinya.
Membuka kain terakhir yang melindungi pusat istrinya, kemudian melabrkan paha Jani. Byakta mengelus-elus paha dalam Jani dengan gerakan seduktif yang membuat Jani hanya bisa menggigit bibir bawahnya yang terlihat sangat sensual di mata Byakta.
Tangan Byakta menyikap kebaya bagian atas Jani, tangan pria itu berpindah untuk menangkup dada lebih berisi milik istrinya lalu memijatnya dengan sesekali meremasnya. "Kau tidak terlihat kurus seperti apa yang dikatakan tabib itu istriku, lihatlah betapa merekahnya tubuhmu." Byakta memelintir pucuk dada Jani sambil mengamati eksperesi Jani yang menahan desahan keluar dari mulutnya.
"Kangmas kurasa tempat ini bukan tempat aman untuk bercinta." Bisik Jani, bisa saja telinga prajurit lainnya setajam telinga Byakta, itu akan sangat berbahaya dan memalukan begitu Jani keluar dari kamar.
Byakta menyeringai, melihat usaha Jani menahan lengkuhan dari bibirnya. "Ya, dinding kayunya memang cukup tipis istriku." Byakta memiringkan posisi Jani, kemudian menahan tungkai kakinya hingga seperti tergantung, meraba kemaluan istrinya yang sudah siap untuk di masuki.
Byakta memasuki istrinya yang berbaring menyamping, membelakanginya sambil mencengram bukit kembar sintal yang menggoda dengan pucuk merah jambu yang lebih meluas dari sebelumnya. "Mhhhh kangmas..." desah Jani tertahan.
Tangan Byakta kemudian bergelinyar ke punggung istrinya, luka-luka yang sudah tertutup dalam semalam dengan rafalan mantra sakti yang di ucapkan Byakta sebelum pergi ke Panggaluh. Byakta bergerak selembut yang ia bisa, walaupun rasanya ingin sekali menerjang dengan buas untuk menumpahkan hasrat yang ditahannya selama beberapa bulan.
Jika Jani mencoba menahan rasa nikmat yang menerjang lewat bibir yang yang di gigitnya, Byakta mencoba menahan hentakan keras yang ingin dilakukannya dengan cara mengusap perut buncit Jani agar mengingatkannya, ada kehidupan ringkih yang harus dijaga dengan hati-hati.
Jani ikut menggerakkan pinggulnya, merasakan sesuatu yang mendesak ingin keluar dari dalam dirinya. "Lebih cepat kangmas." Pinta Jani.
Byakta menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa istriku, kau sedang mengandung." Walaupun gerakan yang diberikan Byakta pelan, Jani masih bisa mencapai puncaknya karena tangan Byakta yang menggoda dadanya tanpa henti, juga kecapan-kecapan panas yang diberikan.
Jani melepaskan penyatuan mereka, turun dari ranjang sambil membuka kebaya berantakan yang masih melekat di tubuhnya. "Kangmas tidak akan sampai jika bermain sepelan itu." Jani melihat ketengah selangkangan Byakta, masih mengeras juga tegak sempurna.
"Apa yang kau akan lakukan istriku?" Byakta bertanya dengan nada rendah sambil duduk di pinggir ranjang, ketika Jani duduk dengan kaki yang menekuk di pinggir ranjang.
Duduk di atas Ranjang membuat Byakta bisa mengamati dada Jani yang memang lebih merekah akibat dari kehamilannya, dan sialnya itu membuat miliknya lebih mengeras. Tangan Jani bergerak membelai lembut milik Byakta sambil memperhatikan ekspresi Byakta yang menatap tajam, memasukan milik suaminya kedalam mulut kecilnya.
"HM." Geram Byakta ketika Jani mulai menggerakkan kepalanya maju mundur sambil memainkan satu lagi miliknya yang masih tergantung. "Kau lebih mahir." Puji Byakta sambil mengelus kepala istrinya.
Bibir kecil istrinya yang hangat membuat Byakta layaknya mabuk 2 tong tuak, membuatnya ya melayang namun dengar rasa nikmat yang tertahan, jemari satu lagi Jani yang memainkan miliknya benar-benar membuat otak Byakta kosong diliputi Rasa seperti ini.
Jani melepaskan kulumannya, begitu merasakan milik Byakta yang berkedut untuk segera menumpahkan benihnya. Jani membiarkan Byakta mengambil alih sisanya, membiarkan pria itu mengurut miliknya hingga tumpah di atas dada Jani, Jani tidak pernah melihat milik Byakta keluar seperti ini sebelumnya, ah biasanya Byakta akan membenamkan dirinya dalam-dalam di diri Jani ketika cairan putih kental ini keluar.
Bibir Jani basah dengan air liur, juga dadanya yang penuh cairan putih membuat kesan anggun serta polos menghilang dalam dirinya, tergantikan dengan sosok wanita penggoda hingga mampu melumpuhkan akal sehat.
Jani menatap byakta menggoda dengan dada yang dibusungkan. "Apakah aku boleh mencoba yang ini kangmas?"
Byakta meratakan cairan cinta miliknya di dada Jani dengan mata tajamnya yang mengawasi. "Semuanya milikmu kasihku."
_
_
_
_
_
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sang Senopati (END)
Historická literaturaKecerobohan yang Jani lakukan berhasil mengantarnya kepada Perpindahan ruang dan waktu membuat Jani terjebak di kerajaan dengan wilayah-wilayah yang Jani tidak tahu sebelumnya walaupun ia seorang mahasiswa jurusan Sejarah. Entah itu Transmigrasi at...