Matahari pagi menyinari wajah Jani yang tertidur dalam keadaan terduduk dengan tubuh yang disandarkan pada batu, terangnya cahaya matahari yang menyinari wajahnya membuat Jani membuka matanya dengan wajah yang di tutupi dengan telapak tangan."Raden Ayu." Suara bisikan dari seseorang yang dikenalinya berhasil menarik perhatian Jani.
Rasa kantuk langsung menghilang begitu saja, melihat Kantil yang datang, dengan keranjang yang dibawanya. "Bagaimana kau bisa masuk?"
Kantil tidak menjawab, tangannya dengan cekatan mengeluarkan makanan yang terbungkus daun pisang dan juga berbagai macam buah-buahan dari dalam keranjang. "Makanlah RadenYu, anda harus tetap sehat."
"Kantil aku tidak bersalah, aku tidak meracuni Maharaja." Desis Jani dengan mata memerah menahan tangis.
Kantil menggengam tangan Jani yang menggengam jeruji besi dengan erat. "Saya tahu RadenYu, anda tidak melakukan itu. Saya mohon bertahanlah, Senopati akan segera datang kemari."
Penjaga yang berdiri dibalik kegelapan itu menghampiri Kantil. "Cepat! Raden Ayu akan segera dijemput untuk persidangan." Kantil menggelengkan kepalanya, rasanya sangat berat meninggalkan wanita yang terlihat sangat berantakan ini sendirian. Baru satu hari, namun Raden Ayunya sudah terlihat sangat lelah.
"Cepat pergi! Bawa dia." Perintah Jani langsung didengarkan oleh si penjaga, dengan segera penjaga itu menyeret Kantil agar keluar dari penjara.
Tidak lama setelah itu, beberapa pengawal datang. Menghimpit Jani di kanan dan kiri tubuhnya, membuat gerak tubuh wanita itu menjadi terbatas.
"Lancang! Beraninya kalian menyentuhku. Aku masihlah seorang istri Senopati yang belum terbukti bersalah atas tuduhan pembunuhan Maharaja. Aku bisa berjalan sendiri ke persidangan." Dua prajurit yang ditugaskan untuk menjemput Jani pun dengan patuh melangkah di belakang Jani, yang berjalan dengan perlahan.
*****
Jani masuk kedalam ruang persidangan yang ramai, mata setiap orang yang berada disana mengawasi Jani dengan begitu lekat seakan mengulitinya. Tatapan mengintimidasi yang sareat akan kebencian tidak lagi disembunyikan, mereka terang-terangan menatapnya dengan merendahkan.
Jani mencoba bersikap tegar dengan langkah anggun seorang bangsawan juga dagu yang dinaikannya, walaupun dengan tangan terikat tali dan kaki yang diberi pemberat ia tetap mencoba mempertahankan harga dirinya sebagai seorang wanita bangsawan juga menunjukan bahwa ia tidak bersalah.
Maheswari yang duduk diatas tahta menaikan sebelah alisnya dengan heran, seharusnya kakak iparnya itu merasa terintimidasi dengan tatapan tidak bersahabat para dewan istana. Ah rupanya wanita ini bersikap sok tangguh, Maheswari menjadi penasaran sejauh mana wanita hina itu mampu mempertahankan ekspresi angkuhnya.
Jani berdiri di bawah singgasana yang diduduki Maheswari, tanpa memberi hormat ataupun kepala yang ditundukan. Pandangan Jani mendongkak, menatap Maheswari penuh dengan api kebencian yang berkobar begitu nyata.
"Lancang! Berani sekali penghianat ini memandang Permasuri seperti itu." Dua orang dayang mencengkram bahu Jani, memaksanya untuk berlutut. Dengan susah payah Jani mencoba melawan, rasanya sangat hina menundukan diri di depan permasuri satu ini. Karena Jani yang terus melawan seorang pelayan memukul kaki Jani hingga jani terjatuh, Jani tidak bisa bangkit lagi karena dua dayang yang menahan tubuhnya dengan kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sang Senopati (END)
Historical FictionKecerobohan yang Jani lakukan berhasil mengantarnya kepada Perpindahan ruang dan waktu membuat Jani terjebak di kerajaan dengan wilayah-wilayah yang Jani tidak tahu sebelumnya walaupun ia seorang mahasiswa jurusan Sejarah. Entah itu Transmigrasi at...