Part 56

724 81 12
                                    




Byakta berdiri dengan angkuh diatas panggung kayu dengan tinggi 5 meter, menatap datar kepada Ghede yang  menyiksa seorang penyusup, tentu tanpa seizinnya. Teriakan serta jeritan akibat rasa pedih akibat cambukan yang diberikan oleh Ghede membuat Arangga serta prajurit lainnya memandang ngeri.

"Senopati, kurasa kita harus mengistirahatkanya untuk sementara waktu, dia bisa mati jika Ghede menggunakan seluruh tenaganya seperti itu." Arangga terus menatap  Ghede yang bertubuh besar dan tinggi di atas rata-rata yang tanpa ampun melayangkan cambuk seolah-olah melampiaskan seluruh amarah dihidupnya.

"Biarkan saja, jikapun dia mati kita bisa mengirim mayatnya sebagai peringatan. Dia hanya pesuruh rendahan, tidak ada hal penting yang bisa kita gali dari prajurit tumbal seperti dia." Nada enggan dibantah yang keluar membuat Arangga tidak berkata apapun lagi.

Seorang prajurit dengan pakaian tempur mendekat lalu berlutut didepan Byakta, kedua tangannya terulur menyerahkan sebuah gulungan surat yang baru tiba, surat yang tidak bisa  membangkitkan minat Byakta untuk melihatnya.

"Lapor senopati, ada surat baru dari kediaman Rajawali, surat dari Raden Ayu Anjani, Senopati." Mendengar nama Jani, Byakta seketika melangkah lebar ke arah prajurit itu, mengambil surat yang diasongkan dengan secepat kilat.

Lalu bergegas berbalik pergi, menuju tenda tempat peristirahatan khusus untuknya. "Biarkan dia beristirahat dulu." Arangga mengangkat tangannya ke arah Ghede, membuat Ghede seketika berhenti dengan seringai di wajahnya, menyeret sang penyusup memasuki penjara berlumpur.

"ARANGGA KEMARI!" Suara menggelegar Byakta membuat para prajurit langsung menghentikan aktivitas mereka untuk sesaat, mencuri-curi pandang ke arah Arangga yang hanya bisa menghela nafas berat dengan tingkah junjungannya yang sedang jatuh cinta, seperti pemuda baru mengenali cinta saja! padahal sebentar lagi akan memiliki 2 orang anak.

Arangga menyingkap tirai coklat yang menjadi pintu tenda milik Byakta, benar saja ia melihat Byakta yang tersenyum dengan begitu lebar membaca surat yang baru tiba dari Raden Ayu.

Sekuat tenaga Arangga menahan ekspresi wajahnya, karena tidak terbiasa dengan ekspresi penuh dengan kebahagiaan yang ditunjukkan oleh junjungannya itu setelah berminggu-minggu hanya menunjukan wajah bengis akibat kehilangan kabar dari sang pujaan hati.

Byakta dengan langkah semangat segera berjalan ke arah meja tulis kayu dengan ukuran yang tidak terlalu besar, duduk dengan bersila hendak menuliskan surat balasan. "Siapkan kudaku untuk mengantarkan surat ke Harkapura." Titah Byakta.

Arangga membulatkan matanya, dengan tegas menggeleng tidak setuju. "Yang benar saja! Kudamu adalah kuda perang terbaik Senopati, bagaimana mungkin digunakan untuk mengantarkan surat saja. Kau menggunakan apa untuk pergi ke garis depan?"

Byakta berdecak, matanya memandang Arangga dengan alisnya yang berkerut. "Walaupun aku hanya menaiki seekor kambing aku akan tetap menang Arangga, namun karena pengantar surat yang lemah dan menaiki kuda kurus itu, istriku pasti merasa tersiksa karena rindu begitupun aku. Kau..."

"Mengapa tidak menggunakan burung pengantar pesan saja Senopati, pasti akan jauh lebih cepat." Usul Arangga dengan senyum yang seakan menemukan solusi terbaik untuk pengiriman surat.

Byakta menatap Arangga dengan alis yang sedikit dinaikkan, lalu kembali fokus menulis surat. "Menggunakan burung pengantar surat memang akan lebih cepat, namun mengingat musuh kita memiliki banyak sekali burung terlatih dan ada yang bersembunyi di daratan tinggi, kemungkinan surat yang kutulis untuk Anjaniku akan menghilang."

Ya memang benar apa yang dikatakan Byakta, Harkapura sedang diserang dari berbagai arah sekarang, walaupun mereka mampu untuk menghadapi musuh, bersikap waspada masih dibutuhkan.

Cinta Sang Senopati  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang