Part 54

587 84 8
                                    




Seekor kuda teji coklat melesat cepat menembus kerumunan pasukan musuh yang menghadang, Senopati Byakta duduk di atas kudanya dengan tubuh tegap dan mata yang awas mengawasi pergerakan pasukan dari atas kuda kesayangan yang selalu menemaninya di setiap perjalanan dan pertempuran yang dilaluinya. Tangan yang mencengkram pedang layaknya seekor burung Rajwali yang mencengkram mangsa, dengan gerakan lugas pedang itu berayun menebas dengan pasti tiap pasukan lawan yang bersentuhan dengan pedang kebanggaan, pedang yang sudah buram dengan darah akibat terlalu banyak menghantarkan nyawa para musuh tanpa henti sejak pagi buta, hingga sang surya yang sudah lelah bercahaya.

Mata  setajam elang itu masih berkilat penuh semangat dan tegas kuat tidak membiarkan seorangpun kembali ke pasukan, mencari-cari tiap nyawa yang tersisa dari mayat yang bergelimpangan dengan darah anyir yang menggenang. Layaknya pedang yang berada di genggamannya, tubuh Sang Senopati ikut terciprat darah dari musuh yang ia kembalikan kepada sang pencipta hari ini.

Terompet tanda pasukan harus mundur bergaung dengan nyaring, seketika membuat suara besi yang beradu menjadi senyap dengan kegelapan yang menjadi pertanda akhir dari penghantaran nyawa secara masal ini. Sang Senopati ikut menurunkan pedang yang terayun tinggi yang dikuti prajuritnya.

Menyisakan keheningan di tengah-tengah suasana mencekam yang begitu membanggakan untuk pasukan Rajawali, gemuruh teriakan mulai bersahut-sahutan, sorak-sorai penuh dengan kegembiraan dan kebanggaan atas keberhasilan mereka mengalahkan pasukan kerajaan kecil yang ditumbalkan hari ini.

Musuhnya benar-benar tidak tahu seperti apa pasukan milik Senopati Byakta ini hingga menghantarkan nyawa dengan begitu mudah.

"HIDUP SENOPATI AGUNG BYAKTA!"

"HIDUP!"

"HIDUP!"

"HIDUP MAHARAJA SRI WICAKSANA!"

"BERJAYA HARKAPURA!!!"

Semarak kebahagiaan atas kemenangan Pasukan Rajawali dan kerajaan terdengar begitu meriah hingga mampu menggetarkan tanah, Senopati memang tidak pernah mengecewakan, tidak pernah terkalahkan, di dalam hati para prajurit mereka sungguh merasa bangga terlahir di masa Kejayaan Harkapura.

Namun sang Senopati seperti tidak merasa puas dengan kemenangan kecil yang didapatnya, Byakta hanya terdiam menatap langit sore dengan cahaya orenge yang selalu membuatnya merindu akan kasihnya yang jauh menunggu. Kemenangan hari ini hanya bisa membuatnya sedikit menghela bafas lega, itu artinya Byakta bisa pulang cepat untuk menyambut kelahiran putrinya sebagaimana ia menyambut kelahiran Buntala.

Sayangnya peperangan masih teramat panjang, mungkin putrinya sudah bisa berlari ketika ia kembali, Byakta hanya bisa menghela nafas berat ditengah gemuruh teriakan kebahagiaan dari pasukannya atas kemenangan pertama mereka untuk pertrempuran panjang yang akan dilakukan.

Hatinya merasa tidak rela melewatkan kehadiran sorang anak perempuan yang didambakannya bahkan saat Jani mengandung Buntala, walaupun Byakta tahu Buntala akan menjadi seorang pria, didalam hatinya anak perempuan yang manis seperti Jani selalu membayanginya.

Hidupnya akan terasa sangat bahagia memiliki seorang putri yang mirip dengan sang kekasih, Anjaninya.

Arangga dengan menunggangi kuda, menghampiri Byakta yang hanya terdiam atas kemenangan pertama mereka. "Pikiranmu terlihat terbang dengan begitu jauh sampai ke Harkapura Senopati."

"Lembayung Birva Atkaya, bukankah itu nama yang sangat indah untuk putriku? "

Arangga menatapi ke arah matahari  yang akan tenggelam sehingga menyisakan semburat orange yang hangat dan menenangkan. "Ya, itu akan menjadi nama yang indah untuk disematkan kepada putrimu. Ia pasti akan menjadi gadis cantik penuh pesona serta daya tarik yang memikat siapapun yang melihatnya."

Cinta Sang Senopati  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang