~HAPPY READING~
Author pov.
Agasta mengubah posisi menyenderkan tubuhnya pada bahu brankar yang sengaja dinaikkan. Netra yang biasanya terlihat tajam kini tampak memilu, wajah serta bibirnya memucat layaknya orang sakit keras. Ia hanya diam menatap pemandangan dibalik dinding kaca ruangan. Sesekali bibirnya meringis kala tubuhnya memberikan reaksi nyeri.
Entah sudah keberapa kalinya ia menginap di ruangan berdominan warna putih ini. Aroma obat-obatan yang menyeruak terasa memuakkan. Agasta hanya seorang diri disana, cowok itu menyuruh kelima sahabatnya untuk pergi ke sekolah tidak perlu mengkhawatirkan dirinya disini. Protes dan tidak mau meninggalkan nya tentu saja dilayangkan mereka namun Agasta berusaha meyakinkan jika ia akan baik-baik saja.
Sejenak Agasta memejamkan mata, menetralisir rasa sakitnya yang melanda tiba tiba. Akan tetapi suara gesekan pintu membuat ia terpaksa membuka mata.
Perlahan kepalanya menoleh kearah seseorang yang kini sudah berdiri di depannya.
"Agasta."
Deg!
"Papa..." Agasta terkejut sekaligus tidak menyangka laki-laki itu akan menemui
nya disaat seperti ini.Arsan diam.
Dada Arsan terasa amat sesak teremas kuat menatap Agasta.
Sesakit sakit anak itu Arsan tidak pernah melihatnya selemah ini atau memang ia yang tidak pernah peduli. Bahkan putranya itu berhasil menyembunyikan rasa sakitnya selama ini. Sebagai seorang ayah ia benar-benar sudah gagal.
"Bagaimana keadaan kamu? Apa sudah membaik?" Tanya Arsan setelah menduduki kursi samping brankar.
Tidak tahu malu! Iya, Arsan memang tidak tahu malu beraninya ia menanyakan keadaan Agasta setelah apa yang sudah terjadi diantara mereka selama bertahun-tahun.
Namun bukannya membalas pertanyaan Arsan. Agasta malah dibuat tertawa seakan baru saja mendengarkan hal yang lucu. "Kemana perginya papa yang saya kenal, hm? Jangan bercanda dia tidak pernah melayangkan pertanyaan konyol seperti itu." Tawa cowok itu berhenti bersamaan dengan perubahan raut wajah beserta sorotan matanya yang menjadi datar dan dingin.
Arsan sangat merasa tersindir dengan ucapan Agasta barusan namun ia hanya bisa membisu.
"Tenang saja, Pah. Bentar lagi anak pembuat masalah ini akan enyah dari kehidupan papa. Tidak akan ada lagi rasa malu yang perlu papa tanggung." Ujar Agasta lalu memalingkan wajahnya kearah lain.
Lagi lagi laki laki paruh baya itu merasa tertusuk mendengarnya. Kepala ia tundukkan tak sanggup melihat kebencian yang ada. Arsan meruntuki perbuatan bodohnya kepada Agasta.
"Lalu bagaimana jika kamu beri tahu papa sesuatu tentang ini. A-apa kamu tetap akan sembunyi, Ga?"
Kini giliran Agasta yang dibuat diam saat Arsan tiba tiba meletakkan sesuatu di depannya. Netra Agasta lantas turun memperhatikan surat tersebut. Surat itu adalah surat keterangan dari rumah sakit yang ia miliki sejak beberapa bulan lalu namun entah bagaimana bisa berada ditangan papanya.
Agasta Pratama Viduga
Divonis kanker otak."Maaf, Aga.... Papa benar-benar minta maaf..." Lirih Arsan menundukkan kepalanya dengan suara yang bergetar dia menahan air mata.
Sesak, pedih, menyakitkan.
Rongga dada lelaki itu mendadak menyepit, meremas kuat seakan tak memberi celah ruang untuk nya sedikit bernafas. Agasta mengepalkan tangannya erat memalingkan wajah kearah lain. Kenapa rasanya sangat sakit, Tuhan. Kenapa garis takdir hidupnya begitu berat? Apa bahagia tidak mau datang padanya, bahkan untuk sekali saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY UNIVERS.
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Lea zatta alanty siswi pindahan yang baru beberapa bulan menapaki SMA merahputih. Cantik, suka permen, mudah bergaul itulah lea. Namun dipertemukan dengan Agasta pratama viduga ketua geng blacksky. Dialah aga laki laki...