Keesokan harinya pukul 8 pagi, Salsa sudah terbangun dan melamun menatap ke arah jendela kamar hotel yang ia tempati dari semalam. Dengan mata bengkaknya ia melihat hiruk-pikuk kota yang sudah memulai aktivitas sejam yang lalu.
Semalam Salsa terus menangis sampai tertidur di pelukan Wiya membuat kepalanya cukup sakit pagi ini. Dan karena itu juga Heri memutuskan untuk menginap di hotel dengan menyewa dua kamar yang saling terhubung.
Heri memilih menginap di hotel karena mengingat jarak rumahnya lumayan jauh dari rumah Salsa yang mana membutuhkan waktu beberapa jam untuk sampai. Dia takut tubuh Salsa akan pegal karena tertidur dengan posisi yang kurang nyaman di mobil.
Dira juga sudah terbangun sejak pukul 7 pagi dan sudah ada setengah jam dia tidak melihat pergerakan dari Salsa. Sejak ia memberikan Sarapan sampai sekarang Salsa belum beranjak sedikit pun dari tempatnya, bahkan sarapan yang ia berikan tadi juga belum disentuh sama sekali.
Dira menghela nafas sedih. Ia sedih melihat keponakannya sedih dan murung seperti itu. Dira tau ini pasti sangat berat bagi Salsa apalagi sedari kecil ia tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tuanya.Dari kecil juga Salsa berharap semua keinginannya terwujud tapi kenyataannya malah membuatnya semakin terpukul dan sedih.
Tok... Tok... Tok...
Pintu penghubung antara kamar terbuka memperlihatkan Wiya dan Heri yang sudah terlihat segar. Keduanya menghampiri Dira yang berdiri tak jauh dari jendela menatap Salsa.
"Adek udah bangun bund?" Tanya Wiya.
Dira mengangguk, "iya, tuh. udah setengah jam yang lalu," tunjuknya ke Salsa.
"Dan udah setengah jam yang lalu juga dia terus kayak gitu, diem gak ngomong apa-apa. Sarapan yang bunda kasih juga gak dimakan," lanjutnya sambil menghela nafas sedih.
Wiya mengikuti arah yang ditunjukkan Dira dan bisa dia lihat Salsa yang duduk merenung menatap ke arah jendela kamar. Salsa yang duduk menekuk kakinya dengan tatapan kosong tak bernyawa.
Heri yang datang bersama Wiya tadi juga ikut melihat keadaan Salsa yang saat ini bisa dibilang cukup menyedihkan. Wajahnya tampak berantakan meskipun sudah membasuh wajah, tapi mata bengkak dan wajah lelahnya tidak bisa disembunyikan, itu tampak terlihat sangat jelas.
"Coba kamu bujuk dia makan dulu," suruh Heri ke Wiya yang langsung diangguki oleh pemuda itu.
Wiya pun berjalan ke arah Salsa dan mengambil duduk di dekat Salsa, menepuk pundak sepupunya dengan pelan takut membuat Salsa terkejut.
"Dek...," Panggil Wiya pelan.
Salsa menoleh ke arah Wiya dan cepat-cepat menghapus airmata nya yang mengalir tanpa ia sadari. Kembali menatap Wiya sambil mencoba untuk tersenyum, berusaha memperlihatkan kalau dia tidak apa-apa padahal sebaliknya.
"Iya kenapa Abang?" Balas Salsa dengan suara seraknya.
Wiya tersenyum lembut, "udah sarapan? " tanyanya berbasa-basi.
Salsa melirik ke arah piring berisi sarapan yang dibawakan Dira setengah jam yang lal. Ia tidak dalam mood untuk sarapan, nafsu makannya tidak ada meskipun makanan di hadapannya saat ini tampak lezat.
"Ga nafsu Abang," jawab Salsa dengan jujur.
"Kamu mau makan apa? Kita pesen terus makan sama-sama," tawar Wiya. Mungkin Salsa sedang ingin makan sesuatu yang lain, dia akan dengan senang hati akan membelikannya.
"Ayo mau makan apa, mau makan pedes? Yuk, kita makan bareng-bareng," tawar Wiya sekali lagi sambil berusaha membuat mood Salsa lebih baik.
Salsa tersenyum tipis. Dia tau kalau saat ini Wiya sedang berusaha membuat moodnya menjadi lebih baik meskipun susah.
Salsa menggeleng," nggak usah deh, aku makan yang ini aja. Lagian aku udah ngerepotin bunda buat nyiapin ini dan lagi kalau aku makan pedes yang ada nanti sakit perut terus tambah ngerepotin kalian lagi," tolaknya.
"Sama sekali nggak ngerepotin. Bunda sama Abang dan ayah sama sekali gak ngerasa direpotin sama kamu," bantah Wiya.
Salsa tersenyum hambar, "Abang gak perlu nyangkal, aku emang ngerepotin kok. Mungkin karena ini juga papa sama mama gak peduli sama aku."
"Stop ngomong kamu ngerep-"
"Udah Abang aku emang ngerepotin, bahkan dari awal Abang tinggal di rumah dulu aku udah ngerepotin, " ucap Salsa memotong ucapan Wiya.
"Aku juga sadar kok kalau selama ini papa dan mama itu gak perduli sama aku, cuman yang bodoh disini aku nya yang selalu berharap kalau mereka bakalan berubah terus peduli sama aku tapi nyatanya enggak."
"Aku sampai bertanya-tanya sama dunia. Emang salah yah kalau aku berharap buat diperhatiin sama papa mama. Emang salah yah semua impian kecil aku selama ini? Apa gara-gara selalu berharap ngebuat aku bodoh dan buta sama kenyataan?"
"Salahkah bang?" Tanya Salsa sambil menatap Wiya. Matanya kembali memerah ingin meneteskan air mata.
Wiya terdiam sejenak lalu kemudian menggeleng dengan tegas. Ia menggenggam erat kedua tangan Salsa, menatap tepat ke arah mata adik sepupunya lalu berkata.
"Nggak. Kamu nggak salah kok. Gak ada salahnya orang berharap sesuatu, tapi jangan sampai terlalu berharap karena bisa jadi harapan kamu yang juga bakalan buat kamu sakit hati."
"Abang mungkin gampang ngomong kek gini karena nggak ngerasain apa yang kamu rasain, tapi..."
"Kamu bisa coba abaikan semua hal-hal yang bikin kamu sedih, yang bikin kamu stress. Kamu bisa coba ngejauhin orang-orang yang bikin kamu sedih dan ngeliat disekitar kamu yang jauh lebih baik buat kamu perhatiin daripada kamu terus ngeladenin hal yang bikin kamu sedih."
"Kamu bisa lihat ada banyak orang yang sayang sama kamu, yang bangga sama kamu, siap buat nolongin kamu kapan aja, siap buat nurutin kemauan kamu apa aja asal kamu bahagia."
"Ada ayah, bunda, Abang , sama, Sahabat-sahabat Abang yang masih peduli sama kamu dan pingin kamu selalu bahagia. Jadi Abang harap kamu bisa ngeliat itu semua dan mulai berusaha ngelupain sedikit demi sedikit masalah kamu, Abang yakin itu gak gampang tapi setidaknya kamu mau berusaha buat ngelakuinnya karena Abang dengan senang hati buat ngebantu kamu lewatin itu semua."
"Jadi kamu jangan pernah ngerasa sendiri karena Abang bakalan selalu ada buat kamu kapanpun kamu butuh. Jangan sungkan minta apapun ke Abang karena selagi Abang bisa, pasti Abang bakalan berusaha sebaik mungkin buat wujudtinnya."
Wiya mengakhiri ucapannya dengan elusan yang ia berikan ke tangan Salsa yang ia genggam, mencoba menyalurkan kekuatan untuk Salsa dan menunjukkan kesungguhan ucapannya kepada Salsa.
Sedangkan Salsa saat ini sudah tidak bisa menahan air matanya. Salsa sangat terharu mendengar kalimat panjang yang diucapkan oleh Wiya. Dia begitu merasa sangat beruntung mempunyai sepupu yang begitu perhatian seperti Wiya, entah amal apa yang ia perbuat dulu sampai bisa mendapatkan sepupu sebaik Wiya.
Salsa memeluk Wiya dengan erat menumpahkan tangisan harunya setelah mendengar ucapan Wiya.
"Hiks!... A-abang, m-makasih udah sesayang dan sepeduli ini sama aku!"
"Makasih... Makasiiih banget udah mau perduli sama aku. Jangan tinggallin Salsa yang Abang. Salsa gak tau hidup Salsa bakalan kayak gimana kalau Abang gak ada di dekat Salsa."
"Jadi Salsa mohon jangan tinggalin Salsa," ucap Salsa dengan mengeratkan pelukannya ke Wiya yang dibalas tak kalah eratnya oleh Wiya juga.
"Abang gak bakalan ninggalin kamu, Abang janji," balas Wiya. Air matanya juga ikut mengalir mendengar tangisan Salsa.
Heri dan Dira ikut menangis terharu. Heri tersenyum bangga melihat putranya yang begitu dewasa saat mengucapkan semua kata-katanya tadi.
Heri berharap semua keputusan yang ia ambil saat ini bisa merubah kehidupan Salsa menjadi yang lebih baik dan tidak ada lagi masalah serius yang akan mendatangi keponakannya dimasa yang akan datang.
Semoga saja...
***
Udahlah gw ngantuk 🙂
Write:30-1,04-05,24.
Pub:01,05,24.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUTUS ✔️
RomanceMakasih udah mampir Baca dari awal yah,jangan baca end nya dulu:) *** Salsa lelah dengan hubungannya, hubungannya dengan pacarnya juga dengan keluarganya. Haruskah ia menyerah? *** Rank: #1 boyfriend (020324) #1 boyfriend (180224) #1 boyfriend (260...