Chapter 5

2.1K 182 7
                                    

"Kak, gimana keadaan Kala?"

"Belum ada perubahan, sha. Masih belum sadar."

Asha mengelus lengan Alin mencoba untuk menyalurkan energinya.

"Kalau Lika?"

"Sama sha, kakak gak tau ini memang feeling si kembar atau gimana tapi sejak Kala dirawat, Lika juga jadi ikut sakit sampai dirawat bareng gini. Maafin kakak ya, sha"

Alin menghapus sisa jejak air matanya.

"Ssh, ngapain minta maaf sama aku sih kak? kita berdoa ya buat keadaan si kembar supaya bisa segera sembuh. Asha rindu suara mereka."

"Iya, kakak juga kangen. Ohiya sha, ada yang mau kakak tanyain ke kamu"

"Soal apa?"

"Kamu dapet uang sebanyak itu dari mana?"

Asha tahu, lambat laun pasti pertanyaan ini akan diajukan padanya.

"Asha pinjam sama Tania kak, sebagai gantinya Asha akan cicil perbulan ke dia. Udah ya, kakak gak usah ikut mikirin hal itu. Biar jadi urusan Asha aja."

Bohong, Asha tak memiliki alasan logis lainnya. Tak mungkin ia mengatakan akan menjual rahimnya sendiri.

Baginya, jika nyawanya juga bisa dijadikan taruhan maka Asha akan melakukannya. Karena, tanpa keluarganya Asha juga tidak memiliki siapa-siapa lagi. Apapun akan ia lakukan demi keluarganya.

***

Sebuah mobil berwarna hitam mengkilap menepi di depan toko bunga.

"Terima kasih."

Mavi  membeli sebuket bunga mawar merah yang rencananya akan ia berikan pada Amara malam ini.

Sepanjang perjalanan pulang senyumnya tak lepas dari bibirnya, ia terus menatap mawar itu. Bertepatan dengan hari ulang tahun Amara. Mavi ingin memberikannya sedikit kejutan.

Mobil mewah itu memasuki halaman kediaman mereka yang luas.

Mavi membawa langkahnya menuju kamar, sangat tak sabar untuk memberikan bunga itu pada istrinya.

Ia mengetuk pintu kamar dan membukanya, namun Mavi tak melihat Amara disana. Matanya berkeliling dan menemukan gorden menuju balkon mereka bergoyang terhembus angin malam.

Mavi  memanggil Amara lembut.

"Amara"

Wanita itu menoleh dan terenyum melihat kedatangan Mavi.

"Mas, aku ingin bicara."

Amara langsung membuka suara lebih dulu sehingga Mavi harus menyembunyikan buket bunga itu dibalik punggungnya.

"Iya, silahkan."

Wajah Amara tampak sangat serius.

"Mas, aku sudah menemukan wanita yang akan menjadi ibu pengganti. Aku mau kamu menikahinya bulan depan."

Nafas Mavi rasanya tercekat. Ia memasang wajah dinginnya, lagi.

"Amara.."

"Mas, kamu gak perlu khawatir. Aku sudah melakukan pemeriksaan semuanya pada wanita itu. Dia sehat dan sempurna."

Mavi meremas buket yang ada ditangannya menyalurkan perasaannya yang campur aduk.

"Amara..."

Sebelum mereka ber-adu argumen lagi, Amara segera mencoba untuk menenangkan Mavi.

"Mas please....aku mohon sama kamu. Selama kita menikah, aku gak pernah sekalipun meminta sesuatu sama kamu, bukan? So, this is my first and last wish for you...Please marry her, Mavi."

Mavi melangkahkan kakinya mendekati Amara. Lalu ia mencium keningnya.

"Amara, happy birthday."

Amara membulatkan matanya. Ia bahkan tak ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya.

"Mavi..."

"Ini adalah hari ulang tahunmu dan jika itu adalah wish yang kamu inginkan, maka aku akan melakukannya."

Mavi memberikan buket mawar itu pada Amara.

"Mulai hari ini, aku akan lakukan semua yang kamu mau Amara. Jadi, kamu bisa kasih tahu aku nanti untuk tanggal pernikahannya dan semua ketentuan yang kamu inginkan."

Mavi mengucapkan dengan menahan bendungan air matanya setengah mati.

Setelah itu Mavi melepaskan jas nya dan memakaikannya pada tubuh Amara.

"Masuklah, jangan terlalu lama berada diluar. Anginnya cukup kencang. Aku harus kembali ke kantor dan lembur malam ini. Sekali lagi, selamat ulang tahun."

Mavi berbalik dan melengkah pergi meninggalkan Amara.

Amara melihat Mavi menyetir sendiri mobilnya dan keluar dari halaman rumah mereka dari balkon kamar.

Setelah kepergiannya, Amara terduduk lemas di lantai. Ia menangis sejadi-jadinya sambil memeluk buket mawar merah yang basah karena tetesan air matanya.

Sedangkan Mavi setelah membawa keluar mobilnya dan merasa sudah cukup jauh dari sana, ia menyalakan lampu darurat dan menepikan mobilnya.

Mavi berteriak dan memukul stirnya berkali-kali. Ia menangis mengeluarkan rasa sesak di dadanya.

Hal yang sangat menyakitkan ketika harapan ulang tahun Amara adalah untuk menikahi wanita lain.

Mavi menundukan kepalanya di atas stir mobil. Air matanya tak berhenti menetes membasahi celana kerjanya.

Padahal ia tak ada lembur malam ini, tapi rasanya tak mungkin ia bisa melihat wajah Amara setelah mengatakan hal itu padanya. Jadi Mavi memutuskan untuk pergi dan menginap di hotel.

Mavi marah dan kesal pada Amara, dan pada dirinya sendiri.

Mereka berdua saling menyakiti satu sama lain, lagi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Cocok nih sambil puterin lagunya Losing us by Raissa Anggiani :")))))))

The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang