CHAPTER 45

1.8K 217 6
                                    

Sama sekali tak pernah terbesit di dalam pikirannya bahwa kehidupan pernikahannya justru berakhir dengan wanita yang berbeda.

Takdir manusia memang begitu rumit, sampai ia sendiri pun kewalahan untuk bisa memahaminya.

Mavi dan Asha duduk bersama di sebuah ruangan dengan dua orang pria yang memang Mavi tak asing dengannya, karena ia beberapa kali melihat mereka mengurus perizinan kantor Amara.

"Sebelumnya, saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya ibu Amara." Ucap pria itu.

"Terima kasih," sahut Mavi.

Pria itu mengeluarkan beberapa berkas dari dalam tas nya, lalu meletakannya di depan Mavi dan Asha.

"Tujuan saya kesini adalah untuk menyampaikan wasiat terakhir dari ibu Amara."

Mavi dan Asha saling melempar pandang satu sama lain.

"Wasiat?"

"Benar sekali, bu."

Pria itu memberikan lembar kertas itu pada Mavi untuk dibacanya.

"Tepat ketika ibu Amara di diagnosa kanker, beliau segera menghampiri saya dan mengatakan bahwa beliau ingin dibuatkan sebuah surat wasiat. Bisa bapak dan ibu baca lebih dulu isi wasiat tersebut."

Asha dan Mavi membacanya dengan sangat teliti.

Bahwa saya, Amarasati Wibisana Rhisyad Memberikan wasiat berupa seluruh harta kekayaan yang mengatas namakan diri saya untuk diberikan kekuasaan sepenuhnya kepada anak saya dan Mavi Wardhana Rhisyad.

Dengan ketentuan berikut, bahwa tidak masalah jika anak itu tidak terlahir dari rahim saya sendiri. Namun, harus tetap mewarisi darah dari suami saya.

Saya, Amarasati memberikan seluruh harta kekayaan atas nama saya kepadanya.

Jika suami saya tidak memiliki anak, maka seluruh harta warisan tersebut akan diberikan kepadanya.

Demikian surat wasiat ini saya buat dengan sadar dan sebenar-benarnya.

Amarasati Wibisana Rhisyad.
Jakarta.

"Mas ini..."

Tangan Asha gemetar setelah membaca isi surat itu.

Lebih terkejut lagi ketika ia menoleh pada Mavi, air mata pria itu sudah lebih dulu menetes dari batas wajahnya.

Mavi tak pernah menyangka bahwa Amara telah menyiapkan semua ini jauh dari perkiraannya.

"Sha, bisa tolong kamu selesaikan sisanya? Saya butuh waktu sebentar. Permisi."

Asha mengangguk dan membiarkan suaminya pergi dari sana. Ia paham Mavi butuh waktu untuk dirinya sendiri, karena bagaimanapun Amara adalah wanita yang lebih dulu bersamanya.

Dibalik pintu kamar tidurnya yang dulu ia tempati dengan Amara, Mavi terduduk lemas di atas lantai. Ia menyandarkan kepalanya pada badan pintu kayu itu.

Air matanya tak berhenti mengalir dan isak tangisnya menggema.

Rasanya begitu sesak hingga dadanya terasa ingin meledak.

"Ra...kenapa kamu gak bicara denganku sejak awal?"

Hal yang membuatnya terguncang adalah bahwa itu berarti Amara sudah menyiapkan semua skenario ini sejak awal.

Bahkan jauh sebelum pertemuannya dengan Asha.

Mavi merasa gagal menjadi suami. Bahwa diamnya Amara selama ini adalah bentuk kasih sayang padanya, amarahnya selama ini adalah bentuk pertahananya sendiri, bahwa tindakan gilanya selama ini adalah demi memberikan kenyamanan setelahnya.

"ARGGGGHHH!!"

Mavi dengan lantang berteriak, mengeluarkan segala sesak di dadanya.

Dibalik pintu, Asha sudah sangat ingin meraih gagangnya dan mendorong pintu itu. Namun, ia menahannya. Mendengar suara erangan Mavi dari dalam sana, Asha sangat menyadari bahwa pria itu pasti sangat terguncang.

Butuh beberapa waktu sampai Mavi benar-benar merasa jauh lebih tenang untuk keluar dari sana.

Asha tersentak kaget saat pintu itu terbuka.

Sama hal nya dengan Mavi, pria itu melebarkan pupilnya ketika melihat Asha berdiri disana, menunggunya.

"Sha, kamu-"

Mavi merasakan tubuhnya terdorong kebelakang saat tiba-tiba saja Asha berlari memeluknya.

"Mas, aku tahu semuanya begitu berat buat kamu. Aku tahu kamu pasti merasa terpukul dengan semua ini. Maafin aku, karena aku gak bisa bantu apapun. Tapi, aku janji sama kamu kalau aku akan terus ada di samping kamu. Aku akan selalu ada buat kamu dan buat anak kita, mas. Aku selalu siap untuk jadi sandaran kamu. Aku mau kamu bahagia, supaya mba Amara juga bisa ikut bahagia dari sana. Aku- aku cinta kamu mas Mavi."

Mavi membelalakan matanya mendengar semua penuturan Asha. Hanya ada getar tulus yang dapat ia rasakan dari suaranya.

Akhirnya, Mavi menarik sudut bibirnya keatas. Ia tersenyum.

Ia membalas pelukan Asha dengan erat.

"Sha, terima kasih...terima kasih karena kamu tetap ada disini. Jangan tinggalkan  aku ya? Aku cuma punya kamu dan Eshaal. Aku berjanji akan menjaga dan bahagiakan keluarga kecil kita. Aku lebih cinta kamu, Asha istriku."

Mereka saling mengeratkan dekapan satu sama lain dan berbagi haru bersama.

Seolah seluruh tekanan emosional diatas bahu mereka luruh dengan air mata yang menetes bersama.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang