Mavi mengecek ponselnya setiap beberapa menit sekali, berharap barangkali wanita itu akan membalas pesan darinya.
Namun, sudah dua bulan ini Asha benar-benar tak bisa di hubungi. Ia seperti menghilang begitu saja. Sudah ratusan panggilan masuk darinya yang diabaikan, puluhan pesan yang dibiarkan terbaca namun tak terbalas.
Mavi merasa sangat frustasi, ia bahkan kesulitan untuk bisa fokus pada pekerjaannya di kantor.
Dengan kondisi Amara yang juga bisa kapan pun memburuk, membuatnya harus terus terjaga.
Belum lagi Asha meninggalkan semua vitamin miliknya di rumah itu. Asha tak membawa apapun bersamanya.
Asha sangat berhati-hati, ia bahkan tak berani untuk menggunakan kartu atm miliknya. Takut kalau dirinya akan dapat di lacak oleh Mavi.
Selama dua bulan itu, Mavi sudah berusaha mencarinya kemana pun. Ia menyusuri setiap tempat yang memiliki jejak Asha. Menyewa orang untuk mencarinya.
Tanpa ia sadari, kakinya membawanya kembali ke rumah itu. Rumah yang menjadi saksi bisu tentang mereka di setiap sudutnya, bahwa sepertinya Mavi benar-benar memiliki perasaan pada Asha.
Ia mendorong pintu kamar dan membawa matanya menelusuri setiap inchi sudut yang sangat mengingatkannya dengan Asha.
Ketika wanita itu selalu menyambutnya setiap ia pulang bekerja, senyuman dan suara tawanya.
“Saya rindu kamu, Asha. Maafkan saya…”
Mavi terduduk di atas lantai, ia menangis dan menangis setiap melihat kamar itu sepi tanpa penghuninya.
Tak ada aroma Vanila dan Lavender lagi setiap ia berkunjung kesana.
“Asha…saya mohon kembali..saya mohon..saya harus bagaimana Asha?”
Bunga - bunga dan tanaman kesayangan Asha turut layu setelah kepergiannya.
Bahkan tomat merah mereka yang mereka tanam bersama pun mati.
Rumah itu seperti tak bernyawa setelah kepergian Asha.
Mavi menarik selimut yang masih meninggalkan aroma khas milik wanita itu. Ia menghirupnya dalam-dalam hingga paru-parunya terasa sesak.
Ia bahkan sudah tak memperhatikan bagaimana keadaan dirinya sendiri. Kantung mata yang hitam, wajah yang terlihat lelah dan kusut.
Dirinya sangat berantakan.
Banyaknya pekerjaan yang tertunda karena ia harus menemani Amara kontrol, membuatnya terkadang harus menginap di kantor.
“Mavi, gue khawatir karena seharusnya kandungan Asha sudah memasuki usia delapan bulannya saat ini. Sebentar lagi waktunya dia melahirkan.”
Ucapan Jessica terus berdenging di dalam telinganya.
Mavi membayangkan Asha dengan perutnya yang semakin membesar.
“Sha, saya belum bacakan buku dongeng lagi buat anak kita. Saya…”
Mavi menangis memukuli dadanya, berharap agar rasa sakit itu menghilang.
Agenda setiap malam mereka sebelum pergi tidur adalah Mavi akan membacakan cerita dongeng sambil mengusap perut Asha. Memberikan afirmasi-afirmasi positif pada calon bayi mereka.
“Asha…saya rindu kamu.”
Mavi menidurkan tubuhnya diatas ranjang dingin itu. Mendekap erat selimut yang masih meninggalkan aroma milik istrinya.
Ia tertidur dengan wajah yang basah dan sembab.
***
Amara menatap ponselnya, membaca kembali isi pesan yang sudah ia ketik.
Setelah mengirim pesan itu, air matanya mengalir lurus membasahi pipinya yang mulai tirus.
kursi rodanya ia atur menghadap ke arah matahari tenggelam yang menunjukan semburat oranye terang.
Pikirnya, apakah hal yang ia lakukan sejauh ini adalah sebuah kesalahan?
Tetapi, semua hal yang ia lakukan hanya memiliki satu tujuan saja. Sebab, sejak awal ia sudah mengetahuinya.
Bahwa cepat atau lambat, ia juga akan segera pergi dari sana.
Amara menatap langit dengan wajah sendu. Dunianya bisa kapanpun berhenti berputar.
Kemoterapi kesekian kalinya membuat rambutnya sudah habis dan hanya menyisakan kepala yang kini selalu ditutupi dengan sebuah topi rajut.
Amara memejamkan matanya dan menghirup udara untuk mengisi paru-parunya.
Jika memang tindakannya adalah sebuah kesalahan, maka ia sangat ingin bisa memperbaikinya sebelum benar-benar selesai.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }
FanfictionAda banyak cara untuk mencari uang. Termasuk dengan meminjamkan rahim sendiri. Orang gila mana yang mau melakukannya demi uang? Asha, adalah satu-satunya. Merasakan beratnya menjadi tulang punggung keluarga semenjak kepergian sang ayah. Belum la...