CHAPTER 36

1.9K 213 16
                                    

Bacanya sambil dengerin lagu sampai jadi debu nya Banda Neira ya biar lebih ngefeel :"))
.
.
.
.
.
.
.
.

Amara menjalankan kursi rodanya mendekat ke sisi lain dinding kamar tidurnya.

Ujung jemarinya menyentuh pigura-pigura foto yang berdiri disana.

Seperti membuka pintu ke masa lalu. 

Memang, sebuah foto mampu menyimpan begitu banyak kenangan di dalamnya.

Sudut bibirnya terangkat melihat satu bingkai foto berukuran kecil yang ia genggam saat ini.

Foto berukuran kecil itu adalah momen saat pernikahannya dengan Mavi.

"Aku masih ingat dengan baik aroma bunga segar yang ada disana, aroma spray rambutku yang masih terasa melekat di hidung. Bahkan, rasa sesaknya korset baju pengantin yang panjang itu masih membuatku sedikit trauma."

Amara terkekeh pelan.

Ia menyentuh wajah Mavi yang ada di dalam bingkai itu. Wajah dingin yang tak menunjukan senyum sama sekali, bahkan di hari pernikahannya sendiri.

"Mavi, kamu adalah laki-laki paling baik yang pernah kutemui selama hidupku. Kamu adalah satu-satunya laki-laki yang membuatku merasa aman. Maafkan aku ya mas.."

Air matanya mengalir, Amara memeluk bingkai itu erat-erat.

Mavi masih terus merawatnya, meskipun Asha sudah kembali. Tetapi, Mavi selalu datang dan menemaninya ke rumah sakit.

Jika waktu bisa di ulang, Amara ingin menjadi dirinya ketika ia dipertemukan dengan Mavi pertama kali.

Bagaimana rasa debar jantungnya mendominasi ketika ia melihatnya berdiri disana menatapnya dan untuk pertama kalinya mata mereka bertemu.

"Seharusnya saat itu aku menolak permintaan mama. Karena, aku gak akan sanggup lepasin kamu Mavi. Hatiku sakit."

Amara benar-benar jatuh cinta dengannya. Dengan setiap perlakuan Mavi padanya, meski Amara selalu bertindak sesuka hatinya. Tetapi, pria itu sama sekali tak pernah mengeluh. Mavi tak pernah meninggalkannya.

Isak tangisnya mengisi sunyinya kamar yang kini terasa dingin itu.

"Bahkan, jika aku terlahir kembali aku akan tetap memilih kamu mas."

Dadanya berdenyut nyeri sekali sampai Amara memukul-mukulinya.

Lusa adalah kemonya yang entah sudah keberapa kalinya, namun ia sendiri tak merasakan perubahan signifikan pada tubuhnya.

***

Seperti biasa, Mavi datang pagi dan mengantar serta menemani Amara untuk ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan mereka tak banyak bicara. Tepatnya, Amara terlihat jauh lebih diam dari biasanya.

Mavi menyadari perubahan itu, namun ia enggan berkomentar karena ia pikir mungkin Amara sedang merasa lelah dan tak ingin banyak bicara. 

"Halo Ra, you okay? ada keluhan?" tanya Jessica.

"Halo Jes, gue baik. Langsung mulai aja ya kemonya?" Jawab Amara. 

Jessica sempat melirik Mavi beberapa detik. 

"Oke, kita ke ruangan kemo ya."

Jessica mendorong kursi roda Amara untuk menuju ruang kemoterapinya. Setelah itu ia mengajak Mavi untuk mengobrol di dalam ruangannya.

"Kalian bertengkar?"

"Enggak"

"Ada sesuatu yang Amara keluhkan ke lo, Mav?"

Mavi menggeleng.

"Kami baik-baik aja Jess, cuma memang tadi sepanjang perjalanan kesini gue ngerasa Amara jadi jauh lebih pendiam."

Jessica hanya mengangguk-angguk saja, lalu ia mengambil catatan medis milik Amara.

"Report kali ini yang bisa gue sampaikan ke elo gak akan banyak, Mav."

Dada Mavi selalu berdebar setiap kali Jessica membuka bahasan mengenai kondisi Amara.

"Gak ada kenaikan progress yang signifikan untuk keadaan Amara, hasil pemeriksaan beberapa hari lalu justru menunjukan sel kankernya sudah mulai menyebar ke organ yang lain. Kemo itu cuma membantu untuk memundurkan waktu Amara aja. Maafin gue ya, Mav."

Jessica memejamkan matanya, berat sekali rasanya mengucapkan hal itu. 

"Lo gak perlu minta maaf Jess. Gue sangat berterimakasih karena lo udah ngerawat Amara dengan baik sampai saat ini."

Sejujurnya, Mavi pun sedang berusaha untuk tak terlihat menyedihkan di depan orang lain. Ia berjuang menahannya, bahkan ketika Asha menanyakan kondisi Amara padanya Mavi hanya memberikan gambaran secara umum mengenai penyakit Amara. Asha masih belum tahu bahwa tidak ada harapan lagi bagi Amara untuk bisa berumur panjang.

 Apakah usianya bisa sampai untuk melihat bayi itu lahir pun tidak ada yang dapat memprediksinya. 

Di dalam sana, setiap kali jarum-jarum suntikan itu masuk ke dalam tubuhnya Amara sudah tak lagi memikirkan rasa sakitnya. 

Ia selalu memandang ke arah pintu keluar sampai kemo selesai dan selalu meminta perawat disana memutarkannya sebuah lagu untuk menemani.

Sebuah lagu berjudul Sampai Jadi Debu yang di nyanyikan oleh band bernama Banda Neira menjadi satu-satunya lagu yang ia pilih sebagai obat penghilang rasa sakitnya.

"Ibu Amara suka sekali ya dengan lagu ini?" tanya perawat yang sedang memasang alat infus padanya.

Amara hanya tersenyum tipis.

"Ibu sangat beruntung ya, suami ibu selalu menemani setiap kali ke rumah sakit. Ayo semangat sembuh ya bu, semoga bisa menua bersama dengan suami ibu ya."

Pilu sekali mendengar doa baik yang ia tahu bahwa tak akan bisa terjadi. 

Bagaimana rasanya menua bersama Mavi?

Apakah kalau usia mereka sudah tua nanti, Mavi akan tetap sesabar seperti saat ini?

Apakah senyuman matanya tetap terlihat tampan?

Bagaimana rupa Mavi ketika sudah menua nanti? 

Rambut tebalnya akan memutih dan wajahnya akan berkerut. 

Oh, Amara sedikit iri dengan Asha karena ia yang nanti dapat melihat hal itu semua.

Amara memejamkan kedua matanya, sampai tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya kedinginan dan pandangannya mendadak kabur. 

Mavi terlihat panik ketika melihat banyak perawat yang berlarian keluar masuk ruangan kemo itu. Sampai ia melihat Jessica dan beberapa orang dokter berlarian masuk ke dalam sana. 

Dadanya berdebar, ia merasa gelisah hebat. 

"Sus! a-ada apa? kenapa semua orang terlihat panik?!"

"Bapak mohon menunggu disini ya, saat ini dokter kami sedang memeriksa kondisi pasien di dalam,"

"Memangnya ada apa? istri saya kenapa?!"

"Ibu Amara mengalami henti jantung dan saat ini kami sedang mengupayakan yang terbaik untuk beliau. Mohon untuk berdoa dan menunggu sampai hasil pemeriksaan selesai ya, pak. Saya permisi."

Mavi membeku di tempat, tubuhnya seketika terasa lemas hingga membuatnya harus mencari pegangan agar tak terjatuh.

"Ra....." ucapnya lirih.



.

.

.

.

.

.

.

.

:"))))







The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang