Setelah memastikan riasan wajahnya menjadi lebih baik, Amara turun dari mobil berwarna putih miliknya dan masuk ke dalam rumah besar itu.
Ia melihat sang ibu yang sedang duduk di ruang tamu. Amara menyapanya sebentar dan segera pergi menuju kantor sang ayah.
Suara ketukan pintu terdengar.
"Masuk."
Pria paruh baya itu menyuruh Amara untuk duduk di depannya.
"Papa tahu kamu tidak menyukai basa-basi dan kamu juga tahu kalau papa sangat benci dengan pembohong."
"Amara hamil, perlu amara buka perut ini?"
Ketika ia bersiap untuk menyingkap baju bagian bawahnya, sang ayah menahannya.
"Tidak perlu, papa percaya sama kamu."
Nyaris saja, Amara nyaris saja ketahuan dengan bertaruh bahwa ia akan benar-benar menunjukan perutnya.
Beruntung, ia selamat dari tindakan bunuh diri itu.
Amara menyerahkan hasil usg palsu miliknya.
"Usia janinnya sudah lima bulan, jantungnya sudah berdetak tetapi kelaminnya belum tahu karena tadi posisinya tertutup."
Tak ada balasan. Pria yang ia sebut dengan papa itu hanya terdiam sambil sibuk menuliskan sesuatu diatas kertas. Kacamata baca yang terpasang di wajahnya membuatnya semakin terlihat menyeramkan. Seperti seorang professor senior killer.
Ia menyerahkan sebuah dokumen di depan Amara.
Dengan sigap Amara segera membaca isi dokumen itu dan setelah memastikannya, ia segera menandatanganinya.
Tanpa basa-basi, tanpa drama, dan tanpa perantara. Resmi sudah perusahaan itu jatuh ketangannya.
Sebab Amara tahu, sang ayah bukanlah seseorang yang suka menarik ucapannya kembali. Jika ia sudah mengatakan bahwa syarat Amara hanya perlu hamil, maka tanpa banyak bertanya setelah Amara cukup memberikan bukti yang akurat ia memenuhi ucapannya.
Pria yang memegang kata-katanya.
"Terima kasih, pa. Amara pergi."
Amara berdiri dari kursinya dan hendak pergi.
Namun ketika Amara baru saja berbalik, ucapan sang ayah membuat tubuhnya gemetar sangat hebat.
"Kamu sudah coba kemo, Amara?"
Amara membeku di tempat, ia mengepalkan jarinya hingga memutih. Jantungnya berdebar hebat, takut.
"Dokumen itu asli, papa tidak berbohong sama kamu. Bawa dan simpan baik-baik sebagai bukti."
Amara masih terdiam di tempat ia berdiri. Matanya membulat sempurna.
Bagaimana mungkin? Bagaimana sang ayah bisa mengetahuinya?
"Da-dari siapa-"
"Kamu tidak perlu tahu, papa tahu semuanya. Soal penyakit kamu, soal rumah tangga kamu, soal Mavi dan soal gadis asing itu."
Nafas Amara tercekat. Kerongkongannya terasa sangat kering hingga salivanya bahkan tak mampu membasahinya.
"Apa Mavi tahu kamu sakit, Amara?"
Amara menggeleng.
"Apa janin yang ada di perut gadis itu adalah anak Mavi?"
Amara mengangguk.
"Papa tahu, ide ini semua pasti milik kamu bukan?"
"I-iya"
Suara derap langkah sang ayah mendekat, membuat jantungnya nyaris merosot detik itu juga.
"Amara, kamu-"
"Pa, semua ini ide Amara. Semua dalang dan otak dibalik ini adalah aku."
"Papa tahu."
Benar, sang ayah tentu lebih mengetahui sifat anaknya lebih dari siapapun di dunia ini.
"Sebab itu, papa tidak pernah melakukan apapun meski sejak awal papa sudah mengetahui semuanya."
Amara meneteskan air matanya dalam diam.
Jadi, selama ini sang ayah mengetahui semuanya? Soal hubungan Asha dan Mavi dan soal kehamilan palsunya.
"Papa tidak marah, Amara. Papa tahu kamu terluka sejak kehilangan calon anak kamu dulu. Belum lagi kamu tidak bisa hamil setelah operasi itu."
"Pa.."
"Kenapa kamu tidak jujur pada papa tentang operasi itu?"
"A-amara takut...pa-papa akan menyerahkan perusahaan ini pada kakak."
"Amara, apa yang kamu pikirkan? Sejak perusahaan itu papa serahkan pada kamu, semua asetnya sudah papa balik menjadi nama kamu. Tidak mungkin bisa diberikan ke Daniel!"
"A-apa??!"
Amara merasa sangat terpukul mendengarnya.
"Te-tetapi mama selalu bilang kalau kakak akan ambil perusahaan itu kalau aku tidak hamil!"
"Itu hanya gertakan kami, karena kami tidak tahu kalau kamu tidak bisa hamil Amara. Kami tidak setega itu.."
Amara terduduk lemas di lantai.
Ia tersenyum, ini benar-benar sangat menyakitkan.
Semua perjuangan dan pengorbanannya hancur hanya dalam hitungan menit. Semua rasa sakit yang ia berikan untuk dirinya sendiri dan Mavi adalah kesia-siaan belaka.
Jadi, siapa penjahatnya disini?
"Amara...apa kamu masih bisa sembuh?"
Terdengar ada getaran rasa risau dalam suara sang ayah.
Amara menggeleng perlahan.
Sang ayah seketika memeluknya.
Oh brengsek sekali, pikirnya.
Kenapa disaat seperti ini, semuanya menjadi berubah? Pelukan hangat yang ia dambakan sejak dulu akhirnya dapat ia rasakan.
Seorang pelukan ayah. Amara bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia berpelukan seerat ini dengan sang ayah.
Amara menangis hebat dalam pelukannya.
"Pa...sakit...ini terlalu sakit.." ucapnya merintih.
Pria paruh baya itu ikut menitikan air mata saat memeluknya.
"Maafkan papa, Amara. Maaf.."
Satu ikatan dibahunya terlepas sudah.
Hari yang benar-benar sangat melelahkan untuknya. Ketika diagnosa itu keluar dan sang ayah yang ternyata mengetahui segalanya.
"Pa..tolong rahasiakan hal ini dari Mavi."
"Tidak bisa, Amara. Dia suami kamu! Dia berhak tahu keadaan kamu!"
"Pa! Tapi-"
"Papa yang akan mengatakan padanya langsung."
Amara tahu, ia tak akan bisa mencegahnya.
Satu ikatan terlepas dan membuat ikatan rumit lainnya.
Amara dihadapkan begitu banyak hal yang ia sendiri sudah mulai kewalahan menghadapinya.
Dengan demikian, nasib gadis itu sedang dalam pertaruhan besar.
Benar sekali, Asha sedang berada di tepi jurang yang dapat membuatnya terjatuh meski hanya dengan satu sentuhan ujung jari.
Sekali lagi,
Jadi, siapa penjahatnya disini?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Pendek aja, mumpung lagi mood nulis 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }
FanfictionAda banyak cara untuk mencari uang. Termasuk dengan meminjamkan rahim sendiri. Orang gila mana yang mau melakukannya demi uang? Asha, adalah satu-satunya. Merasakan beratnya menjadi tulang punggung keluarga semenjak kepergian sang ayah. Belum la...