CHAPTER 37

2.1K 229 20
                                    

Mavi melihat mereka mendorong tempat tidur Amara keluar dari ruang kemo.

"Ra! Amara!"

Mavi berdiri di sisi Amara yang matanya terpejam dan sudah terpasang oksigen di wajahnya.

"Jess! Amara-"

"Mavi, please let us do the rest. Lo berdoa aja ya."

Kata-kata Jessica menjadi penutup sebelum mereka membawa Amara ke dalam ruang operasi.

Mavi terduduk di ruang tunggu, ia mengusap wajahnya frustasi. Air matanya tak tertahankan. Mavi tak henti-hentinya berdoa untuk Amara.

Ia menghubungi orangtua Amara untuk memberitahukan kabar tentangnya.

Namun, Mavi tak bisa memberitahukan pada Asha. Ia tak ingin membuat Asha menjadi kepikiran atau stress, tak baik untuk kehamilannya yang dalam beberapa hari lagi akan menginjak usia sembilan bulan.

"Mavi!"

"Ma, pa.."

Mereka bertiga berpelukan. Mavi menangis lagi, tak kuat menahan air matanya.

"Apa yang terjadi??"

"Amara sedang kemo seperti biasa, pa. Tapi, tidak lama setelah itu Mavi melihat para perawat berlarian masuk ke dalam ruang kemo Amara."

Mavi menghapus air mata di wajahnya.

"Mereka bilang Amara mengalami henti jantung dan saat ini sedang dilakukan upaya terbaik."

Suara isak tangi dari kedua orangtua Amara terdengar. Terutama sang mama.

"Amara....putriku...maafkan mama, sayang.."

Mereka semua memang tahu dengan kondisi Amara yang bisa kapanpun mengalami penurunan.

Namun, tidak akan ada manusia yang pernah siap dengan sebuah kehilangan.

Meski terencana sekalipun, tetap saja hati manusia bukan terbuat dari logam keras.

Operasinya ternyata berjalan sangat lama, Mavi sudah menunggu empat jam lamanya dan belum ada hasil yang mereka dapatkan.

"Mavi, kamu pulang dulu aja ya biar papa dan mama yang tunggu disini. Kamu pasti lelah."

"Pa tapi-"

"Mavi, kami ingin menjaga putri kami disini. Kamu bisa istirahat dulu ya, terima kasih sudah menemani Amara."

"I-iya ma. Kalau begitu saya permisi pulang dulu. Tolong kabari saya hasil operasinya."

"Iya, nanti papa akan telepon kamu."

Mavi menatap pintu operasi itu sekali lagi dan melangkah pergi.

***

Asha mengerutkan keningnya mendengar suara mobil Mavi yang pulang lebih awal.

Ia melihat jam di ponselnya yang menunjukan pukul lima sore.

Asha menyambut kepulangan Mavi.

"Mas? Ada apa? Pulang lebih cepat?"

Mavi tak menjawab, namun ia segera memeluk Asha.

Asha dapat merasakan tubuh Mavi bergetar.

"Mas? Kamu nangis?..."

Isak tangis Mavi akhirnya terlepas. Ia menangis dalam pelukan Asha. Pilu sekali sampai membuat Asha merasa sangat khawatir.

Asha mendekap Mavi dan mengusap punggung pria itu.

"Ra, aku brengsek banget ya? Kamu sakit, aku malah menangis di pelukan perempuan lain saat ini."

Asha tak bertanya alasan kenapa Mavi menangis sekencang itu. Ia bahkan tak perduli jika bahunya sudah basah oleh air mata Mavi.

Setelah merasa sedikit lebih lega, Mavi melepaskan pelukannya lalu menghapus sisa bekas air mata di wajahnya.

"Maaf, sha. Baju kamu jadi basah."

Asha mengelus pipi Mavi dengan tangannya.

"Gapapa, kamu sekarang bersih-bersih dulu ya? Abis itu langsung istirahat aja. Aku masakin makan malam ya."

Mavi tersenyum tipis dan mengangguk.

Asha tak ingin bertanya sekarang tentang alasannya, ia ingin agar Mavi tenang lebih dulu.

"Mas, udah selesai? Ayo makan malam dulu."

Mavi mencium kening Asha dan mereka berdua makan malam bersama.

Asha sengaja tak membuka suaranya sampai Mavi yang memulainya lebih dulu. Ia hanya takut salah bicara dan membuat keadaan Mavi menjadi lebih sedih.

"Enak sekali masakan kamu, terima kasih ya." Ucap Mavi mengusap rambut Asha.

Tak lama setelah itu, ponsel Mavi berdering dan ia segera mengangkatnya.

"Halo pa?"

"Mav, Amara sudah keluar ruang operasi dan semuanya berjalan lancar. Jantungnya sudah berdetak normal kembali. Kamu gak perlu kesini ya, besok saja. Biar papa dan mama yang menginap malam ini."

"Baik pa, terima kasih sudah mengabari Mavi."

Asha hanya mendengar sedikit-sedikit pembicaraan suaminya.

Mavi merasa sangat lega, benar-benar lega meski tak seharusnya demikian karena sekali lagi kondisi Amara bisa kapan saja turun kembali.

Asha yang sedang duduk di sofa ruang tv, hanya berpura-pura sibuk melihat layar besar di depannya itu meski fokusnya sudah melebur kemana-mana.

Mavi duduk di samping Asha lalu menidurkan kepalanya di pangkuan wanita itu.

"Sha, mas mau tiduran disini boleh kan?"

Asha tersenyum lalu menyisiri rambut tebal Mavi dengan jemarinya.

"Boleh sayang,"

Mavi tersenyum mendengarnya.

"Maafkan mas ya sha, tadi tiba-tiba menangis. Mas hari ini lelah sekali."

Asha memaklumi, sangat memaklumi karena ia juga tahu kalau Mavi memang terus menemani Amara meski ia harus bekerja dalam satu hari yang sama.

"Jangan pernah minta maaf karena kamu menangis ya mas. Menangis bukan sesuatu yang memalukan, kamu gak perlu minta maaf."

"Sha, mas mau tidur sebentar.boleh ya? Kalau kamu pegal tolong bangunkan mas saja ya?"

"Kenapa sebentar? Pindah ke kamar aja ya? Aku juga udah mulai ngantuk."

Asha membiarkan Mavi memeluknya, pria itu tertidur dengan sangat cepat dan lelap.

Bohong, padahal Asha sama sekali belum mengantuk. Tetapi, ia tak tega melihat Mavi.

Ia biarkan dirinya terlarut dengan isi kepalanya sendiri, hingga akhirnya ikut tertidur setelah cukup lama terbangun sendirian.

.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang