Asha meletakan id card pegawainya di meja. Ia memasukan beberapa benda ke dalam sebuah kotak coklat. Hari ini, ia resmi resign di tempat kerja yang sudah menanunginya beberapa tahun terakhir.
"Kok jadi lo yang resign duluan sih, sha? Rencananya kan gak gini."
Asha tertawa.
"Mba, lo lusa udah pergi juga kan?"
"Iya sih hehe, jadinya lo kerja dimana sekarang? Diem-diem aja nih!"
Asha tersenyum pahit.
"Gue di luar kota mba, jadi sekalian pindahan rumah juga kesana."
"Seriuss???"
"Iya, doain aja ya mba."
"Pasti! Gue doain biar lo bisa sukses di tempat baru lo, terus lo bisa married cowo ganteng dan tajir! Hahahaha sesuai mimpi lo tuh!"
Asha tertegun, ia baru teringat pembicaraan mereka waktu itu. Siapa sangka, ternyata hal itu benar-benar terjadi. Asha akan menikah dengan lelaki yang kaya. Namun, tampan atau tidaknya pria itu, Asha tidak tahu sama sekali.
"Jangan lost kontak ya sha, lo itu satu-satunya rekan gue disini yang gue anggep kayak adek gue sendiri. So, let me know kalo nanti lo mau married. Jangan lupa undangannya!"
"Iya mba"
Mereka berdua berpelukan sebelum Asha pamit.
"Gue bakalan kangen banget sama lo, sha."
"Gue juga sama mba."
"Gue berdoa, semoga lo bisa bahagia terus ya sha. Semoga segala kesulitan dalam hidup lo selama ini akan selesai."
Asha tersenyum lalu menitikan air matanya, ia mengeratkan pelukannya.
"Thanks ya mba. Lo udah baik banget sama gue. Doa yang sama buat lo juga."
Perpisahan adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan. Setiap pertemuan, akan ada juga perpisahan. Hanya saja, perpisahan seperti apakah yang akan dirasakan itulah misteri takdir.
Sebuah mobil truk besar telah selesai mengangkut isi barang-barang rumah sewa yang sudah ia tempati selama lebih dari sepuluh tahun ini.
Tasya memeluk Asha. Putri sulung dari pemilik rumah sewa yang kadang suka meminta Asha mengajarinya pr sekolah.
"Tasya bakalan kangen sama kak Asha."
"Kakak juga sama, kamu sekolah yang rajin ya. Belajar yang giat dan bantu mami tagih uang sewa yang rajin hahahaha."
Mereka berdua tertawa.
"Kalo gitu, saya juga permisi ya bu. Terima kasih selama ini sudah baik sekali sama saya dan keluarga"
"Sama-sama mbak. Hati-hati ya, kapan-kapan mampir kesini ya."
"Iya bu."
Setelah berpamitan mereka pergi meninggalkan rumah itu dan segala kenangannya.
"Sha, bos mu baik sekali ya mau kasih kamu cicilan buat bisa beli rumah. Semoga kamu betah-betah ya di tempat kerja barumu."
Asha tersenyum pilu. Hatinya teriris mendengar ibunya mengucapkan hal itu.
Sebuah kebohongan lagi-lagi terucap. Asha mengaku memiliki tempat kerja baru dan perusahannya sangat besar, hingga bisa menbantu Asha untuk menyicil pembelian rumah untuk keluarganya.
Rumah yang Amara berikan, berada dalam sebuah komplek perumahan yang cukup damai. Rumah dengan dua lantai dan halaman luas itu sangat lebih dari cukup untuk mereka tempati.
Si kembar masih tetap di rumah sakit, namun Kala sudah menunjukan kemajuan. Balita menggemaskan itu sudah tersadar dari komanya.
Alin berjaga disana, sedangkan Asha yang mengurus perpindahan rumah mereka.
"Bu, maafkan Asha ya bu"
"Maaf kenapa nak? Memang Asha berbuat salah?"
Asha terdiam.
"Uang yang kamu berikan ke ibu dan biaya rumah sakit si kembar, bukan dari sesuatu yang bahaya kan nak?"
"Bukan bu, uang itu bersih"
"Syukurlah, ibu sangat senang sekali sha"
Wanita paruh baya itu tersenyum dan menggenggam tangan Asha.
"Bu, Asha mintaa maaf kalau nanti kedepannya Asha akan jarang pulang atau bahkan gak pulang sama sekali dalam beberapa waktu."
"Ndak apa-apa, kamu kan kerjanya jauh. Ibu bisa paham, yang penting jangan lupa kasih kabar ya."
Asha mengangguk lalu memeluk ibunya. Ia menahan air matanya susah payah. Wanita yang menjadi satu-satunya rumah baginya, sayapnya yang kini hanya tersisa satu. Demi tuhan, Asha akan menjaganya sampai nafasnya berhenti.
"Asha sayang ibu."
"Ibu juga sayang sama Asha."
Sejauh ini semuanya berjalan dengan baik dan sesuai rencana Asha. Tanggal pernikahan juga sudah ditentukan oleh Amara.
Lusa, ia akan menikah dengan Mavi.
Disitulah, cerita hidupnya yang baru akan dimulai.
Amara tidak pernah mengetahui seperti apa Mavi sebelumnya.
Bagaimana wajahnya, suaranya, sikap dan sifatnya. Sama sekali tak ada bayangan.
Amara juga terlihat sangat menjaga Mavi darinya. Bagaimana ia tak membolehkan Mavi melakukan komunikasi apapun dengannya.
Terlintas, Asha merasa ia sepertinya tak berbeda jauh dengan sebuah boneka mainan. Bedanya, ia diharuskan hamil kali ini.
Asha tak berharap apapun, masih bisa bernafas saja ia sudah bersyukur.
***
"Lo gak nyari baju pengantin buat mereka?"
Jessica mengunyah makanan dimulutnya.
"Buat apa? Toh, cuma Mavi yang gue bawa keluar buat jabat tangan sama penghulu. Asha gak perlu."
"Ra, gue tahu mungkin mereka hanya akan nikah siri tapi lo harus inget. Mereka akan tetap nikah dan sah jadi suami istri dalam mata agama. Lo gak boleh main-main sama tuhan, Amara."
Amara terdiam sejenak. Ia sebenarnya tahu namun enggan untuk mengakuinya.
"Sebab itu, gue berkali-kali nanya sama lo apakah lo beneran yakin buat ngelakuin ini semua?"
"Jess, enough. Gue cape banget dan lagi gak mau denger nasehat dari siapapun. I'm tired of everything."
"I'm sorry."
"No, you're not wrong. Everything you said earlier was true. I'm just the one who deny it."
Jessica menghela nafasnya.
"Ra, kapanpun lo butuh tempat buat cerita. Gue akan selalu ada disini, buat lo."
"Thanks banget ya, Jess. Gue cuma butuh untuk di support, bukan untuk di nasehatin a sampai z."
Jessica hanya bisa berpasrah, Amara dan keras kepalanya tak pernah berubah sejak dulu.
Amara mengeluarkan sebuah kotak perhiasan kecil berwarna biru muda.
"What do you think?"
"Pretty good, selera lo siapa yang bisa komen?"
Amara tersenyum melihat sepasang cincin untuk Mavi dan Asha pakai nanti sebagai salah satu syarat pernikahan mereka.
Rasanya memang gila, wanita mana yang membelikan sepasang cincin pernikahan untuk suaminya sendiri?
Hidup Amara belakangan ini memang sulit ditebak alurnya. Terlalu kusut hingga ia sendiri pun kesulitan untuk mengurainya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }
FanfictionAda banyak cara untuk mencari uang. Termasuk dengan meminjamkan rahim sendiri. Orang gila mana yang mau melakukannya demi uang? Asha, adalah satu-satunya. Merasakan beratnya menjadi tulang punggung keluarga semenjak kepergian sang ayah. Belum la...