Chapter 8

2.2K 182 18
                                    

Rumah berukuran besar dengan dominasi cat berwarna coklat dan putih itu menjadi saksi atas terjalinnya sebuah ikatan baru.

"Saya terima nikah dan kawinnya Ashalina Ayyara binti Soeratma Arya dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."

"Sah.."

Resmi sudah. Detik ini, pada waktu yang bersamaan antara air mata dari kedua wanita itu menetes.

Asha resmi menikah dengan Mavi dan menjadi istri sirinya.

Pernikahan yang sangat sederhana hanya dengan satu penghulu dan satu saksi. Tidak ada kamera ataupun musik pengiring.

Bahkan, mempelai wanita pun tidak terlihat.

Jessica memberikan sebuah cincin untuk Mavi kenakan, karena Amara hanya bisa duduk terdiam disana seperti patung.

Sedangkan, cincin satunya sudah diberikan kepada Asha yang berada di kamarnya di lantai dua rumah itu.

Untuk pertama kalinya Asha mendengar suara Mavi saat menyebut namanya dalam akad tadi.

Asha terduduk di tepi anak tangga paling atas. Ia menangis, terisak dalam kesunyiannya.

Benda mengkilap yang kini melingkar di jari manisnya menjadi bukti bahwa ia telah resmi menjadi seorang istri dari pria yang tak ia ketahui sama sekali identitasnya.

"Bu, Asha takut."

Asha tak jauh terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang ketakutan dan butuh seorang sosok ibu untuk memeluknya saat ini.

Air matanya masih mengalir dari pipi mulusnya. Saat ia mendengar langkah seseorang, Asha segera berlari masuk ke dalam kamar lalu menghapus air matanya.

Suara ketukan pintu terdengar.

"Sha, ini saya Amara."

"Ma-masuk saja mba."

Amara datang dan melihat Asha sedang terduduk di tepi ranjang.

"Sha, Mavi sudah selesai melakukan akad. Saat ini kamu sudah sah dan legal untuk melakukan hubungan seksual dengannya. Malam ini mungkin Mavi tidak bisa langsung karena ada pekerjaan, tapi akan saya pastikan kalau Mavi mau melakukannya sama kamu."

Asha tertegun, Amara sangat frontal sekali membicarakan hal itu padanya.

"Sha, saya berharap besar sama kamu. Tolong jangan kecewakan saya, ya."

Asha hanya mengangguk.

Amara memeluk Asha. Pelukan pertama mereka.

"Asha, saya ikhlas kamu berhubungan dengan mas Mavi. Kamu gak perlu merasa terbebani, karena ini adalah keinginan saya sendiri. Jadi, saya mohon. Tolong saya Asha, tolong bantu saya."

Asha membulatkan matanya mendengar ucapan Amara yang saat ini sedang memohon padanya.

"Mba..."

"Sha, kamu boleh anggap saya gila. Tapi saya gak perduli. Karena, gak semua orang tahu rasanya ada di posisi saya saat ini."

Asha melepaskan pelukan mereka lalu ia menggenggam tangan Amara.

"Mba, akan saya usahakan bayi itu. Kalau mba Ikhlas, saya melakukannya juga tanpa ras was was. Maafkan saya ya mba, sekali lagi saya minta maaf."

Amara tersenyum. Kali ini, Asha dapat merasakan tulusnya senyuman yang Amara berikan padanya.

"Semua perlengkapan kamu di rumah ini sudah saya siapkan. Setiap pagi juga akan ada art yang bantu kamu bersih-bersih dan mengurus semuanya. Kamu hanya perlu fokus sama tujuan perjanjian ini."

Asha mengangguk.

"Di dalam laci meja rias itu, ada semua jenis vitamin yang bisa kamu konsumsi. Saya juga sudah membuatkan jadwalnya untuk kamu minum."

"Mba, saya mau tanya."

"Iya?"

"Bagaimana kalau saya gak langsung hamil dalam bulan pertama ini? Saya takut prosesnya akan memakan waktu sedikit lebih lama."

"Saya paham Asha, saya sudah konsultasikan soal ini ke Jessica. Dia akan menghubungi kamu dan menuntun kamu kedepannya. Kamu gak usah khawatir. Jangan stress dan jaga kesehatan kamu ya, sha."

"Baik mba."

"Kalau begitu, saya harus pergi dulu. Saya sudah minta Mavi untuk menghubungi kamu setiap dia ingin ke rumah ini, jadi kamu bisa bersiap-siap."

Asha mengangguk kecil.

Lalu, Amara meninggalkannya. Asha saat ini sendirian dirumah besar itu. Benar-benar sendirian.

Ia menarik laci meja rias dan melihat ada banyak sekali berbagai jenis vitamin disana. Asha melihat catatan jadwal untuk ia meminum vitamin itu.

Sore ini, ia harus meminum vitamin untuk penyubur rahimnya. Asha menggenggam botol kaca itu. Ia menangis lagi.

Asha membuka tutup botol itu dan menuang satu butir kapsul lalu meminumnya. 

Ia melihat pantulan dirinya di depan cermin.

Tak ada yang berbeda dari dirinya, masih sama seperti Asha yang dulu. Namun, bedanya adalah saat ini ia tak bisa melakukan apapun sesukanya.

Untuk sekedar berjalan ke luar pun Amara meminta Asha untuk lebih dulu izin padanya.

Semuanya harus izin pada Amara.

Asha juga yakin, pasti rumah ini memiliki banyak camera pengawas untuk memantaunya. Asha tak boleh ceroboh.

Lalu, ia teringat dengan Tania. Sahabat yang sangat ia sayangi itu harus menangis saat Asha mengatakan ingin pindah ke luar kota.

Tania awalnya merasa aneh karena semuanya terlalu tiba-tiba. Tetapi, Asha mencoba meyakinkannya.

Bahwa semuanya baik-baik saja.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang