Benar, rasanya sangat tidak pantas jika ia dan Mavi membahas tentang rencana masa depan mereka ketika ada Amara yang sedang berjuang sendirian.
"Mas paham, kamu benar-benar wanita yang berhati mulia Asha. Memang benar saat ini Amara masih ada dan berjuang melawan penyakitnya. Mas hanya menyampaikannya supaya kamu tahu bahwa itu adalah keinginan mas dan bahwa mas serius sama kamu."
Asha menyadari perbedaan raut wajah Mavi yang berubah. Namun, ia memang harus tegas. Karena Asha paham, bagaimana rasanya berjuang sendirian.
"Tadi mas juga mau bicara kan? Silahkan, mas mau bicara soal apa?"
Mavi menarik nafasnya panjang sebelum mengucapkan hal yang ingin ia sampaikan pada Asha.
"Sha, maafkan mas karena baru memberitahukan kamu soal ini. Tetapi, rasanya mas sangat jahat kalau membiarkan kamu hanya tidak tahu apa-apa."
Asha memasang pendengarannya dengan seksama. Feelingnya seolah mengatakan kalau sepertinya Mavi akan membahas soal penyakit Amara.
"Seperti yang sudah mas beritahukan sama kamu kalau Amara sakit kanker serviks, tetapi saat ini sudah mencapai stadium akhir dan tidak memiliki angka harapan hidup lagi."
Benar, sesuai dugaannya. Sama seperti yang Jessica katakan padanya tadi siang.
"Maafkan mas baru memberitahukan soal ini, karena mas menunggu sampai kamu memasuki bulan terakhir kehamilan. Mas tidak mau kamu merasa khawatir lalu stress dan berpengaruh dengan kesehatan anak kita." Ucap Mavi sambil mengusap-usap perut Asha.
Asha tak berbicara sampai Mavi benar-benar menyelesaikan ucapannya.
"Sha, Jessica bilang Amara bisa memburuk kapanpun dan beberapa hari yang lalu dia sempat mengalami henti jantung, meski sekarang sudah normal kembali tetapi kita tidak pernah tahu kapan Amara akan memburuk lagi."
Mavi menghela nafasnya.
"Sha, Amara memiliki dua permintaan sebelum ia pergi."
Asha membulatkan matanya.
"Pertama, dia ingin memiliki satu pigura foto bersama dengan mas dan adik lalu mencetaknya dalam sebuah bingkai kecil. Kedua, Amara ingin memberikan sebuah nama untuknya. Dia ingin nama pemberiannya ini ada dalam nama adik. Hanya dua itu saja."
Asha diam dan tak memberikan jawaban apapun.
"Asha, lihat mas."
Mavi menyentuh dagu Asha dan mengangkatnya agar bertatapan dengannya. Karena, sejak tadi Asha terus menunduk diam.
"Amara bilang, semua itu harus atas izin dari kamu."
Asha melebarkan matanya. Ia menatap kedua mata Mavi.
"Jadi, mas mau tanya. Apa kamu mengizinkannya, sayang?"
Mavi menangkup pipi Asha dan mengusapkan ibu jarinya disana.
Asha terlihat menggigit bibirnya.
"Gapapa, kalau kamu gak bisa jawab sekarang. Gak perlu terburu-buru, sayang. Beritahu mas ya kalau kamu sudah bulatkan keputusan."
Asha mengangguk pelan.
"Maaf ya mas.."
"Ssh, gak perlu minta maaf. Itu hak kamu sebagai ibu dari anak kita."
"Mas,"
"Iya?"
"Boleh aku menjenguk mba Amara?"
"Boleh sayang, mau kapan?"
"Besok bisa?"
"Bisa,"
"Terima kasih"
"Sama-sama."
Mavi menarik Asha kedalam pelukannya. Ia mencium keningnya dan mengambil buku bacaan untuk melakukan agenda rutin setiap malam. Membacakan dongeng untuk calon bayinya.
***
Mavi bersyukur bahwa saat ini mertuanya tidak ada jadwal untuk menjaga Amara, sehingga Asha bisa menjenguknya dengan lebih tenang.
Pasalnya, kedua orangtua Amara tidak menyukai Asha.
Pintu ruang vvip itu terbuka, Amara sedikit terkejut dengan kedatangan Asha.
"A-asha??"
Sudut bibirnya yang kering dan terkelupas naik membentuk senyuman tipis.
Asha tersenyum dan menggengam tangan Amara.
"Halo mba, apa kabar? Mba sudah enakan? Maafkan Asha ya mba, karena baru menjenguk lagi."
Mavi membawakan kursi untuk Asha duduk.
"Gapapa sha, kamu sehat? Calon bayi kamu gimana? Sehat? Kapan hpl nya?"
"Sehat mba, terima kasih. Bayi ini dua minggu lagi akan segera lahir mba. Jadi, mba tolong bertahan ya mba? Mba bilang mau lihat dan mau foto bersama dengannya, kan? Jadi mba harus kuat."
Mata Amara berkaca-kaca. Asha mengizinkannya untuk memenuhi permintaan terakhirnya. Ia melirik Mavi dan dibalas anggukan kecil olehnya.
Amara mengeratkan genggamannya pada Asha.
"Sha, terima kasih ya. Untuk semuanya, saya ucapkan terima kasih. Tolong maafkan semua kesalahan saya sama kamu ya, sha?"
"Mba jangan bilang gini ya? Asha sudah maafkan semuanya, mba."
"Terima kasih ya. Kamu memang wanita yang sangat luar biasa. Saya bisa pergi dengan tenang karena kamu yang ada di samping Mavi sampai tuanya nanti."
Asha menahan isak tangisnya mendengar ucapan Amara.
"Mba, tolong bertahan sedikit lebih lama ya? Mba bilang mau kasih nama untuk bayi ini, kan? Boleh Asha tahu namanya?"
Amara mengusap perut Asha.
"Namanya Riley yang memiliki arti berani. Semoga dia bisa menjadi laki-laki yang berani dan tangguh."
Asha tersenyum.
"Namanya bagus mba." Ucap Asha.
"Sha, bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir kita karena kamu akan segera melahirkan. Ashalina Ayyara, saya titipkan amanah kepada kamu suami saya Mavi Rhisyad untuk menjalankan sisa hidupnya dengan kamu. Berbahagialah, tumbuh menualah bersama dan menjadi keluarga yang penuh cinta."
Asha dan Mavi sama-sama berdiri.
"Mba! Saya mohon jangan bicara seperti ini!"
Asha tak sanggup lagi menahan air matanya.
"Mavi, suamiku tersayang. Aku ikhlaskan kamu untuk menikah kembali dengan wanita bernama Ashalina Ayyara. Jadilah suami yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayang. Jadilah Ayah yang menyenangkan untuk bayi kalian."
Amara tersenyum lalu menitikan air matanya. Dadanya merasa luar biasa lega. Seolah kapanpun waktunya, ia akan siap untuk pergi.
Asha memeluk Amara.
"Mba, terima kasih atas segalanya. Mba harus kuat ya? Saya mohon..."
Mavi bahkan sampai ikut terisak disana. Sangat menyakitkan mendengar ucapan Amara barusan. Seolah itu adalah salam perpisahan kepada mereka.
Amara sudah memperhitungkan semuanya, bahkan jauh sebelum ia bertemu dengan Asha.
Jadi, Asha adalah salah satu hal tak terduga yang hadir dalam kehidupannya dengan Mavi.
Seperti sebuah hadiah yang diberikan kepada Mavi atas kesabarannya dalam menghadapi Amara selama ini.
Hadiah yang sangat ia syukuri, kalau Asha lah wanita itu. Orang yang tepat untuk menggantikannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Enjoy reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }
FanficAda banyak cara untuk mencari uang. Termasuk dengan meminjamkan rahim sendiri. Orang gila mana yang mau melakukannya demi uang? Asha, adalah satu-satunya. Merasakan beratnya menjadi tulang punggung keluarga semenjak kepergian sang ayah. Belum la...