CHAPTER 40

2.4K 245 8
                                    

"Pemeriksaan menunjukkan bahwa tumor tersebut telah berubah menjadi kanker stadium lanjut,"

"Dok, apa masih ada kesempatan untuk sembuh?"

"Saya tidak bisa memberikan jawaban pasti, namun kita bisa mencobanya dengan melakukan beberapa terapi untuk melihat kemajuan progressnya."

Amara memberikan jawaban kepada Mavi bahwa ia akan menjalankan bisnis trip selama satu bulan. Padahal tidak demikian, hal yang sebenarnya adalah ia melakukan pemeriksaan dan terapi di sebuah rumah sakit di Singapore.

Ia menjalani semuanya sendirian, karena tak ingin Mavi mengetahuinya. Amara ingin berusaha untuk melihat kemajuan kesehatannya lebih dulu.

Namun sayangnya, meski selama satu bulan itu ia sudah rutin konsumsi obat dan melakukan terapi. Hasil pemeriksaan tidak mengalami kemajuan yang bagus, karena kanker itu terus naik menjadi stadium yang lebih tinggi. Terapi hanya membantu untuk menahannya beberapa saat, tetapi sel kanker itu tetap tumbuh dan memakan jaringan yang lain.

Rasanya sangat menyakitkan mengetahui bahwa ia sudah tidak akan bisa hamil lagi setelah pengangkatan tumor di kedua ovariumnya dan kini harus berjuang melawan kanker pada tubuhnya.

Sekembalinya ia ke rumah, Amara menyimpan rapat semuanya sendirian. Bahwa hanya dirinyalah yang tahu kalau saat itu Amara sudah mengidap kanker.

Amara masih bekerja seperti biasa, namun ia selalu menolak Mavi ketika pria itu meminta untuk berhubungan seksual dengannya. Selain karena terasa sangat sakit, Amara tak ingin Mavi menjadi curiga padanya.

Perlahan, hubungannya dengan Mavi menjadi renggang dan mereka sering bertengkar.

Setelah mengetahui bahwa kanker itu tak bisa di hentikan, Amara segera memutar otak untuk melakukan berbagai macam persiapan.

Benar, persiapan sebelum ia pergi dari dunia ini.

Amara mendatangi sebuah kantor pengacara dan notaris.

"Hallo selamat pagi ibu Amara,"

"Pagi pak Dante."

Mereka bersalaman.

"Ada yang bisa saya bantu ibu Amara? Sudah lama tidak berkunjung kemari. Ibu sehat?"

"Saya ingin membuat wasiat,"

"Wasiat?"

"Iya, saya saat ini mengidap kanker dan hasil pemeriksaannya menunjukan bahwa saya tidak bisa disembuhkan. Saat ini saya masih bisa bergerak kemana saja, tetapi saya tidak pernah tahu kapan tubuh saya akan mulai berhenti bergerak. Sebab itu, saya ingin membuat sebuah wasiat dan ingin melakukan beberapa hal untuk masa depan keluarga saya."

Pengacara itu sempat terhenyak mendengar penuturan Amara yang tampak sangat begitu tenang mengucapkan hal semenyakitkan itu.

"Baik, saya bisa bantu. Bisa tolong di jelaskan wasiat seperti apa yang ibu ingin buat?"

Amara memberikan satu buah map yang berisikan keinginannya dan beberapa dokumen yang akan dipindah tangankan kepemilikannya nanti.

Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya wasiat itu telah berhasil dibuat.

Salah satu isinya adalah, tentang seluruh aset kekayaan yang berada atas namanya telah dirubah menjadi atas nama Mavi.

Selanjutnya, untuk perusahaan yang akan menjadi miliknya akan diberikan kepada ahli waris yaitu anak Mavi suatu hari nanti.

Amara menyebutkan, meski anak itu tidak terlahir dari rahimnya sendiri. Selama ia memiliki darah Mavi di dalamnya, maka akan tetap sah.

Begitulah, sebab Amara merasa sangat memaksa untuk mencarikan perempuan yang dapat mengandung anak Mavi. Ia mati-matian menahan rasa sakitnya sendirian.

Takdir menemukannya bertemu dengan Asha. Sejauh itu, semuanya berjalan sesuai dengan keinginannya.

Padahal sejak awal, perusahaan itu memang sudah menjadi miliknya tanpa harus menunggu agar bayi itu lahir lebih dulu.

Amara sengaja melakukannya, agar ia dapat pergi dengan tenang. Ia tidak ingin meninggalkan Mavi sendirian.

Jadi, dengan merelakan rasa sakit di hatinya ia perlahan untuk ikhlas melepaskan Mavi bersama perempuan lain.

Betapa menyenangkannya, mengetahui kalau Asha benar-benar hamil.

Saat itu, Amara hanya menjadikan alasan waktu pada Asha dan Mavi untuk memiliki buah hati selama sisa waktu empat bulan sebagai batas untuk mendapatkan perusahaan.

Padahal, sisa waktu empat bulan itu adalah sisa dimana tubuhnya hanya bisa bertahan dalam keadaan normal. Selebihnya, Amara sudah mulai merasakan sakit yang luar biasa. Ia menahannya sampai detik ini.

Amara mampu bertahan sampai usia kehamilan Asha mencapai waktu sembilan bulan.

Sejujurnya, itu seperti sebuah hadiah yang tuhan berikan untuknya.

Meski sempat mengalami henti jantung, namun Amara terus berdoa agar ia bisa melihat bayi itu lahir lebih dulu.

Orangtuanya awalnya sangat menolak dengan keputusan Amara untuk membawa perempuan lain dalam rumah tangganya.

Tetapi, setelah mengatakan bahwa hanya itu satu-satunya keinginan yang ia miliki sebelum pergi. Kedua orangtuanya akhirnya menyetujuinya.

Benar sekali, jauh sebelum Mavi tahu. Kedua orangtua Amara sudah lebih dulu mengetahui segalanya, dan perusahaan itu sudah pindah nama sejak awal. Perusahaan itu sebenarnya sudah di pindah tangankan menjadi milik anak Mavi sepenuhnya.

Hanya perlu menunggu bayi itu lahir dan besar untuk mengurusnya.

Amara sudah memikirkan semuanya sejak awal, jauh sebelum Asha datang dalam kehidupannya.

Bagi Amara, Mavi adalah seseorang yang sangat berharga untuknya. Satu-satunya pria yang sangat ia cintai selama hidup di dunia ini.

Amara selalu berdoa, jika di dunia lain ia akan terlahir dan bertemu kembali dengan Mavi. Maka, ia berjanji akan menjadi lebih sehat dan lebih baik. Ia juga ingin menjadi seorang ibu.

Amara juga ingin menjadi ibu dari anak-anaknya dengan Mavi. Amara ingin bisa merasakan hamil dan menyusui. Ingin melihat bayi mungil yang ada dalam dekapannya.

Apakah nanti wajahnya lebih mirip dengannya atau Mavi.

Semua itu hanya menjadi bayangan yang manis, sebagai sumber penguat hatinya yang kini sudah rapuh.

Bahkan, lebih rapuh dari kertas yang terkena air.

.
.
.

.
.
.
.

The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang