Suara detak jantung calon bayi Asha terdengar melalui sebuah alat. Jessica menggeser alat itu kebeberapa titik di atas perut Asha.
"Everything is good. Berat badannya juga sudah memasuki tiga koma enam kilo. Tolong jaga konsumsi gula kamu ya sha. Perkiraan kelahirannya sekitar dua minggu lagi."
"Dua minggu?"
"Benar, itu hanya sekedar perhitungan ya. Karena tidak sedikit juga yang justru memiliki waktu kelahiran yang lebih cepat atau lambat."
Asha hanya mengangguk-angguk mengerti.
Jessica melihat Asha dengan perasaan yang sangat campur aduk.
"Sha," ucap Jessica menarik tangan Asha dan menggenggamnnya.
"Kamu hebat bisa bertahan sejauh ini. Mungkin, saya adalah dokter yang sangat jahat. Tapi, saya bersumpah akan membantu kamu untuk melahirkan bayi ini."
Asha tertegun sejenak, berpikir kenapa tiba-tiba saja Jessica berbicara seperti itu padanya?
"Dok, anda tidak jahat. Anda yang merawat saya dan bayi ini, bahkan dengan mba Amara. Dok, kalau saya boleh mendapatkan izin...."
Asha menggantungkan ucapannya, terlihat ragu dan tak yakin.
"Ada apa sha? Kalau memang saya bisa jawab, pasti akan saya beritahu."
"Dok...saya merasa sepertinya hanya saya yang tidak tahu apapun soal penyakit mba Amara. Saya mau minta izin, bolehkah saya diberitahu? Saya merasa sangat khawatir setiap hari karena memikirkan kondisi mba Amara."
Jessica membulatkan matanya, ia pikir Mavi sudah memberitahukannya soal keadaan Amara yang sesungguhnya. Namun, siapa sangka? Ia membiarkan gadis itu tak tahu apapun.
Jessica memiliki dua jawaban. Pertama, ia pikir mungkin Mavi sengaja tidak memberitahunya agar tak membuat Asha khawatir dan berpengaruh pada kehamilannya. Kedua, Mavi memang tak ingin Asha terlibat.
"Sha, kamu pasti tahu kan kalau Amara sakit kanker serviks?"
Asha mengangguk.
"Tapi..apa kamu tahu kalau kanker itu sudah mencapai stadium akhir?"
Jessica tidak punya pilihan lain, lebih baik ia memberitahukan padanya saat ini.
"Tidak ada harapan hidup tinggi untuk Amara, selain kita hanya perlu menunggu waktu saja. Beberapa hari yang lalu, Amara tiba-tiba saja mengalami henti jantung untuk yang pertama kalinya. Kami semua sangat panik."
Asha meremas bajunya, jadi itulah alasan sebab Mavi sampai menangis terisak di pelukannya saat itu.
Jessica melihat reaksi Asha yang ikut terpukul mendengarnya.
"Sha, jangan beritahu Mavi kalau kamu sudah mengetahui hal ini. Mari kita anggap kalau Mavi tidak memberitahu kamu soal ini, karena dia gak ingin kamu kepikiran dan stress."
Ucapan Jessica sangat masuk akal. Jika benar begitu, lantas apa yang harus dirinya lakukan saat ini? Bagaimana saat bayi ini lahir nanti?
Apakah Mavi akan benar-benar melegalkan pernikahan dengannya atau justru kata-kata itu keluar hanya sebagai penghibur untuknya?
Asha merasa sesak hingga tanpa ia sadari air matanya sudah menetes.
"Sha? Kamu baik-baik aja?" Jessica terkejut ketika melihat Asha menangis.
"Dok, terima kasih sudah memberitahukan hal ini. Saya izin pergi ya. Terima kasih."
"Sha! Tu-tunggu!!"
Asha segera bangkit dari kursinya dan pergi meninggalkan ruang praktek itu.
Ia berjalan cepat sambil mengelap air matanya, sampai tak sengaja ia menubruk seseorang dengan bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Three Rings With Broken Vows { COMPLETE }
FanfictionAda banyak cara untuk mencari uang. Termasuk dengan meminjamkan rahim sendiri. Orang gila mana yang mau melakukannya demi uang? Asha, adalah satu-satunya. Merasakan beratnya menjadi tulang punggung keluarga semenjak kepergian sang ayah. Belum la...