[Bab 21] Sebuah gagasan gila

1K 205 22
                                    

Happy reading!

====

"Apa kamu baik-baik saja, Naora?" tanya Caterine begitu wanita itu meletakkan pantat di atas kursi yang ada di island table di dapur rumah Naora. Kedua mata Caterine mengawasi punggung Naora yang sedang sibuk menyiapkan dua cangkir kopi untuk sahabatnya serta dirinya sendiri. "Aku khawatir banget dengar suaramu tadi pagi, makanya sore ini aku menyempatkan diri datang ke rumahmu."

Naora berbalik, memperlihatkan wajah muramnya kembali.

"Bohong kalau aku bilang baik-baik saja. Aku memang terguncang, tapi aku merasa masih cukup waras hingga detik ini." Naora menaruh secangkir kopi hitam di depan Caterine, dan secangkir lagi untuk dirinya. Naora membawa tubuhnya duduk di sebelah Caterine.

"Di mana Arzan? Apa memang dia selalu pulang larut tiap malam?" Caterine memandang hati-hati ketika melihat Naora mengangguk lesu padanya.

"Dulu aku selalu berusaha punya pikiran positif saat aku mendapati Arzan mulai sering pulang malam." Naora menyesap kopi hitamnya sedikit dan memandang kosong ke depan. "Tapi sejak aku melihat sendiri Arzan di apartemen wanita itu dari foto-foto Tuan Felix, aku merasa ditikam dari belakang."

"Menurutmu, apakah Arzan sadar kalau kamu sudah mengetahui perselingkuhannya?" tanya Caterine dengan suara pelan. Naora mengedikkan bahu dalam satu tarikan napas panjang.

"Naif sekali kalau Arzan masih berpikiran aku tidak tahu apa-apa. Justru yang aku khawatirkan, Arzan sebenarnya sudah bisa menduga hanya saja dia tidak peduli lagi padaku." Suara Naora mengecil. Dengan bertopang pada siku, Naora menyangga dagu dengan telapak tangannya.

"Apa.. tidak sebaiknya kamu minta konfirmasi Arzan terlebih dahulu soal foto-foto itu?" bisik Caterine sembari mendekatkan wajahnya ke arah Naora. Wanita itu sangat berhati-hati sekali agar sahabatnya tidak semakin hancur.

"Setiap kali aku menyinggung soal asisten pribadinya, Arzan selalu marah padaku. Begitu juga waktu Arzan tahu kalau aku ingin menemui Farah. Arzan sampai mengancam mau pindah dari kamar kami bila aku melakukannya. Dan ternyata dia benar-benar melakukan ancamannya." Naora mendesah dan menelan ludah dengan susah payah, seolah ada tonjolan duri yang harus dia telan. Caterine bergeming dan hanya mampu mengedipkan kelopak matanya.

"Aku ikut menyesalkan kejadian ini, Naora."

"Sejak kami berpisah kamar, aku merasa Arzan membuangku begitu saja seperti alang-alang tidak berguna setelah dia punya rumput yang lebih segar dan hijau." Bibir Naora berkerut seperti menahan sakit. "Aku sengaja mengantarkan Leoni ke sekolah kemarin, hanya karena aku butuh pegangan, Caterine. Saat ini, satu-satunya peganganku hanya Leoni."

Caterine menghela napas panjang. Wanita itu mengembalikan kedua bola matanya ke depan dan menyesap kopinya dalam tatapan seperti melamun.

"Apa kamu serius ingin bertemu pelakor itu, Naora? Tujuanmu apa? Mau balas dendam pada asisten pribadi Arzan?" Tiba-tiba suara Caterine bergema kembali dari sebelah Naora.

"Menurutmu, aku mampu? Membalas dendam?" tanya Naora balik, mengundang Caterine mengedikkan bahu sebagai balasannya.

"Kamu kadang tak terduga, Noara. Tapi untuk soal ini aku ingin memberimu sedikit saran, kalau kamu cuma mau pamer emosi pada wanita itu, mending batalkan saja." Caterine menyesap kopinya dan berpaling kembali ke arah Naora. "Aku khawatir setelah bertemu dengan asisten pribadi Arzan, kamu jadi emosi dan kacau. Kalau kamu meluapkan amarah tidak terkontrol padanya, malah ujungnya akan menjatuhkan martabatmu di depan wanita itu. Belum lagi hubunganmu dengan Arzan akan makin buruk."

Naora melepaskan tangan dari dagu dan membawa tangannya bersedekap di atas meja. Dia mendesah panjang.

"Aku cuma kepingin tahu sejauh mana hubungan Arzan dengan asisten pribadinya dan, aku tidak mungkin tanya Arzan soal itu. Apakah mereka cuma sekadar hubungan fisik semata—hanya saling tertarik satu sama lain__," Kalimat Naora terputus. Suaranya nyaris tersedak, hingga akhirnya dia menelan ludah kembali dengan susah payah. "__atau sudah menjurus ke hal yang lebih serius. Aku harus tahu, Caterine! Karena pikiran ini membuatku gila."

[END] Dangerous AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang