[Bab 11] Sang detektif

1.2K 209 21
                                    

Happy reading all!

====

Hari masih pukul setengah enam pagi, tapi Naora sudah siap berada di meja makan dan menunggu Arzan tiba. Sejak beberapa bulan terakhir, Naora mulai mengikuti perubahan perilaku Arzan. Kendati dulu, dirinya dan Arzan memang selalu sibuk dan jarang bertemu ketika makan malam, tetapi mereka berdua selalu berusaha sarapan pukul setengah tujuh pagi bersama Leoni.

Selain itu, saat weekend baik Arzan maupun Naora akan mencurahkan waktu mereka untuk keluarga, terutama Leoni. Meski hanya sekadar makan di restoran favorit Leoni atau jalan-jalan ke mall bertiga.

Namun, keakraban serta kehangatan itu kini hanyalah sebuah kenangan yang jauh dan nyaris terlupakan. Arzan seringnya tiba di rumah sudah sangat larut dan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, bahkan saat Leoni baru bangun tidur. Noara berusaha menemani Arzan sarapan walaupun Naora tak mengerti untuk apa Arzan berangkat kerja pagi-pagi—mati-matian benak Naora menyingkirkan dugaan buruk kalau Arzan menjemput Farah terlebih dahulu. Situasi weekend pun tak berbeda jauh. Arzan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk klien dan bisnis. Tidak ada waktu tersisa untuk Leoni, apalagi untuk Naora.

Sampai kapan Naora sanggup bertahan dalam situasi rumah tangga seperti ini? Naora menghela napas dari atas kursi makan dan memandang nanar nasi goreng buatan Gemi yang tersaji cantik di atas meja.

"Selamat pagi." Sapaan datar menyapu telinga Naora. Wanita itu mendongak dan menemukan Arzan berjalan mendekati meja makan dan duduk di depannya.

"Selamat pagi." Naora membalas sama kakunya. Mereka layaknya dua orang asing yang tak mengenal satu sama lain. Naora meraih piring di depan Arzan. Tangan Naora mulai mengambil nasi goreng Gemi dari atas wadah dan memindahkannya ke piring Arzan.

"Cukup." Kata-kata singkat Arzan menghentikan tangan Naora.

"Telur dadar?" tanya Naora. Matanya memandang Arzan yang mengangguk singkat. Naora mengembalikan piring Arzan dengan nasi goreng serta telur dadar. Semua dalam porsi sedikit.

Naora mengisi piringnya sendiri dengan cepat dan mulai makan. Atmosfer di antara mereka benar-benar hening, hanya terisi oleh bunyi sendok dan garpu yang sesekali beradu.

"Hari Minggu aku harus ke Bali untuk urusan bisnis." Akhirnya kalimat Arzan memecah hawa kesunyian yang melingkupi mereka berdua. Naora menghentikan suapannya dan menegakkan leher untuk memandang Arzan.

"Bisnis?" Naora mengernyit. Arzan mengangguk membenarkan.

"Benar. Beton Karya akan mulai proses lelang proyeknya. Aku harus ada di sana karena Patra Construction terdaftar sebagai peserta." Arzan mengatakan sambil lalu tanpa menghentikan sarapannya.

"Oh. Berapa lama di Bali?" tanya Naora lagi. Kegelisahan mulai menggelenyar pelan melalui punggungnya.

"Tiga hari. Rabu malam aku tiba di Jakarta." Arzan selesai dengan nasi goreng Gemi, kini tengah menyesap orange juice dari gelas di tangannya.

"Kamu mengajak asisten pribadimu?" Naora berusaha mengeluarkan suaranya dalam irama wajar, tapi terdengar gagal di telinga Arzan. Pria itu langsung menghentikan minumannya dan menatap Naora tajam.

"Tentu saja. Sudah jadi tugas Farah bukan?" Sindir Arzan setajam matanya. Sungguh pemandangan yang tak menyenangkan bagi mata Naora melihat rahang Arzan berdenyut karena pertanyaannya. "Hans akan ikut bersama kami—kalau itu bisa membuatmu tenang."

"Apa yang salah dengan pertanyaanku, Arzan? Kenapa kamu merasa terganggu?" Naora berusaha bertahan dibawah intimidasi yang diberikan Arzan padanya. Arzan bergeming, dia malah menenggak minumannya dengan cepat.

[END] Dangerous AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang