Sabina menatap Matilda yang sedang berkemas untuk kembali pulang ke desa Kelna. Setelah 5 hari menemani Sabina di istana Atlanterra, nenek dan cucu itu memutuskan untuk pulang. Karena bagaimanapun, Matilda harus tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sabina sendiri entah kenapa merasa tidak tenang. Jantungnya terus berdegup tidak wajar, hawa tubuhnya panas dingin. Sejak bangun tidur, ia gelisah tanpa sebab. Ia beranggapan bahwa ini karena ia masih rindu pada Matilda dan Grace.
Ia sudah mensugesti dirinya sendiri untuk tetap tenang, tapi sayangnya itu tidak berpengaruh. Ingin menahan Matilda dan Grace untuk tidak pulang, itu juga tidak mungkin.
Sabina tersentak kala tangan kirinya disentuh dengan lembut, ia menoleh ke arah Matilda yang tersenyum.
"Kenapa?"
Sabina tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Hanya, cepat sekali nenek dan Grace harus kembali ke desa Kelna."
Matilda tersenyum, menggenggam tangan Sabina dan menciumnya lembut. "Begitu bahumu sudah sembuh. Mintalah libur pada putri mahkota dan berkunjunglah ke desa Kelna."
Sabina mengangguk dengan semangat. "Tentu, nek. Aku juga sudah rindu dengan suasana desa Kelna dan rindu berdebat dengan paman Paul," jawabnya sambil tertawa dan terlintas dipikirannya ekspresi kesal Paul setiap tengah berdebat dengannya.
"Kamu ini." Matilda menepuk tangan Sabina dan tertawa pelan.
"Nenek.. kak Sabina.. kereta kudanya sudah siap." Grace muncul dibalik pintu.
"Ayo."
Mereka pun keluar dari kamar dan begitu tiba di depan pintu istana. Kaisar, permaisuri, putra mahkota, dan putri mahkota sudah menunggu mereka.
"Kaisar Henry, permaisuri Elizabeth, putra mahkota, dan putri mahkota. Terima kasih karena mengijinkan aku dan Grace menginap untuk merawat Sabina. Terima kasih juga karena sudah memberikan perawatan yang terbaik untuk cucuku," ucap Matilda sambil membungkukkan badannya hormat.
"Sama-sama. Itu sudah menjadi tugas kami, karena bagaimanapun Sabina bekerja di sini dan menjadi tanggung jawab kami," ucap Elizabeth menepuk-nepuk bahu Matilda.
Setelah berpamitan pada semuanya, Matilda dan Grace pun naik ke atas kereta kuda. Rasa gelisah pada diri Sabina semakin tidak karuan, beberapa kali ia menarik napas dan itu tidak luput dari tatapan Brian.
Sabina menyentuh dadanya dan meremas baju yang ia kenakan, ia pun membatin. Cliodhna, jika memang kamu ada didekatku. Bisakah kamu menjaga Matilda dan Grace untukku? Lindungi mereka selama perjalanan. Hatiku resah tanpa sebab, seolah ada bahaya yang mengintai mereka. Sebagai gantinya, aku akan membantumu.
Setelah mengatakan itu, Sabina mengusap dadanya dan menarik napas pelan. Rasa resah dan gelisah yang ia rasakan pun dengan ajaibnya berangsur-angsur membaik. Tanpa sadar, ia tersenyum begitu tulus.
Terima kasih, Cliodhna. Sabina kembali membatin dan tiupan angin yang lembut menerpa rambutnya, seolah itu adalah jawaban dari Cliodhna.
Sabina melambaikan tangan kirinya pada Matilda dan Grace. Perlahan-lahan kereta kuda itu meninggalkan area istana Atlanterra. Sabina terus menatap kereta kuda itu yang mulai menjauh sampai tidak terlihat lagi saat di persimpangan jalan.
"Ayo kak.. kamu masih butuh istirahat," ucap Michelle merangkul lengan kiri Sabina.
"Aku sudah sehat putri Michelle."
"Tetap saja. Bahumu itu belum kering dan tidak boleh banyak gerak."
"Tapi aku jenuh terus berada di dalam kamar."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Legend of Neverland
FantasyDunia ini tidak ada ujungnya, dia adalah permulaan, juga merupakan akhir.