💫 - Dua Puluh Delapan

754 63 21
                                    

Sadar kalau apa yang dilakukannya saat ini adalah sebuah kesalahan, Sabina pun mendorong tubuh Brian hingga ciuman mereka terlepas. Sabina menatap Brian dengan tatapan yang sulit diartikan, ia buru-buru keluar dari kolam air terjun itu dan berlari meninggalkan tempat tersebut.

"SABINA."

Sabina terus berlari, menghiraukan teriakan Brian yang memanggil-manggil namanya. Ia terus mengusap bibirnya seolah tengah menghapus bekas ciuman mereka. Tanpa sadar, air matanya pun menetes membasahi pipinya.

"Awww."

Sabina memekik saat ranting pohon menggores tulang pipinya. Ia menghentikan larinya dan menyentuh tulang pipinya yang mengeluarkan darah. Tangannya sedikit gemetar melihat darahnya sendiri.

"Sabina."

Sabina menoleh ke belakang begitu suara Brian kembali terdengar. Ia pun melanjutkan larinya dengan sekuat tenaga untuk keluar dari hutan tersebut.

Begitu tiba di istana, ia buru-buru masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamarnya itu. Sabina bersandar pada pintu dan tubuhnya pun meluruh ke lantai.

"I-ini salah," lirih Sabina sambil menyentuh bibirnya sendiri. "Putra mahkota milik putri mahkota Teresa, Sabina. Kamu harus ingat itu."

Sabina memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan kepalanya di atas lutut. Ia pun menangis dalam diam, merutuki kebodohannya sendiri yang dengan gampangnya terhasut oleh kebersamaan mereka di air terjun.

Sabina tersentak kaget saat kepalanya disentuh. Ia mendongak dan menatap Grace yang berdiri dihadapannya, menatapnya dengan tatapan bingung diwajahnya yang masih terlihat sangat mengantuk.

"Kak Sabina kenapa?"

Sabina berdeham. "Grace. Kok bangun, sayang?"

"Aku kaget saat mendengar pintu yang ditutup dengan cukup kencang."

"Maaf ya." Sabina tersenyum sambil mengusap kepala Grace, lalu menggenggam tangannya. "Ayo kita tidur lagi."

Grace menurut. Ia naik ke atas kasur dan Sabina ikut merebahkan tubuhnya di samping anak itu, memeluknya dan mencium kening Grace.

"Kamu kenapa menangis, kak?"

"Hmm?" Sabina buru-buru menghapus air matanya yang kembali keluar. "Aku hanya rindu dengan nenek."

Raut wajah Grace pun ikut menyendu. "Aku juga rindu nenek."

Sabina tersenyum. "Kalau gitu kita berdoa dulu sebelum tidur, supaya kita bisa bertemu dengan nenek di dalam mimpi."

Grace tersenyum dan mengangguk semangat. Ia pun menyatukan kedua tangannya di depan dada dan Sabina melakukan hal yang serupa. Keduanya memejamkan mata dan berdoa sesuai keinginan mereka di dalam hati.

"Sudah," ucap Sabina menyelesaikan doanya.

Grace menyamankan posisi tidurnya sambil memeluk Sabina. Wanita itu pun membalas pelukan Grace.

"Mimpi indah, Grace," ucap Sabina mengecup kening Grace.

"Mimpi indah juga, kak."

*
*
*
*
*

Hari pertemuan para bangsawan pun tiba. Ruang pertemuan di istana Atlanterra sudah terisi oleh para bangsawan di kekaisaran Neverland, kecuali raja Edmund Beaufort, duke Alfonso Borgia, count Fernando Manuela, dan baron Arthur Richmond yang tidak hadir.

Ketidakhadirannya itu membuktikan dugaan mereka yang menilai jika keempat bangsawan kekaisaran Neverland itu melakukan pengkhianatan.

Satu persatu dari mereka menatap ke arah Sabina yang ikut serta dalam pertemuan tersebut. Wanita itu duduk di samping James dengan tegak, tatapannya lurus menatap kaisar Henry.

The Legend of NeverlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang