💫 - Dua Puluh Empat

836 59 24
                                    

Sabina masuk ke dalam kamarnya setelah berbincang cukup lama dengan Brian. Ia menatap Grace yang masih terlelap di ranjangnya. Ia duduk di sisi ranjang lalu mengusap kepala Grace dengan lembut.

Grace menggeliat pelan tapi tetap nyenyak dalam tidurnya. Sabina menaikkan selimutnya sampai sebatas dada dan memilih pindah duduk ke sofa samping jendela, menatap bulan dari jendela kamarnya.

"Sepertinya kamu mengantuk, makanya berbicara melantur seperti itu. Mana ada manusia yang hidup di dunia modern dan berakhir hidup di sini. Sebaiknya kamu kembali ke kamar dan beristirahatlah."

Ucapan Brian kembali terngiang dipikirannya. Sabina menghela napas. Sepertinya, memang belum saatnya ia menceritakan asal usulnya. Mungkin setelah semuanya membaik baru ia akan menceritakan semuanya.

"Kak Sabina."

Sabina menoleh pada Grace yang terbangun dari tidurnya. Anak itu terlihat mengucek-ngucek matanya. "Kenapa bangun?" Tanyanya menghampiri Grace.

"Aku mimpi buruk."

"Mimpi apa?"

Grace malah menangis, membuat Sabina dengan sigap membawa anak itu ke dalam pelukannya. Sabina mengusap punggung Grace, membiarkan anak itu meluapkan tangisannya.

"Aku mimpi kamu pergi meninggalkanku seperti nenek. Aku ditinggal sendirian... Hiks."

Sabina tersenyum sambil menjawil hidung Grace. "Aku tidak akan pergi ke mana pun. Itu hanya mimpi. Sudah berapa kali aku katakan, berdoa dulu sebelum tidur."

"Tapi... Hiks. Mimpi itu terasa nyata. Kalau kamu benar-benar pergi dan kembali ke duniamu, bagaimana?"

Sabina tidak menjawab. Ia malah mengusap air mata Grace. "Sudah. Sebaiknya kita lanjut tidur." Ia pun mengajak Grace untuk kembali tidur, memeluk anak itu dengan lembut.

Grace menyamankan posisi tidurnya. Ia menikmati usapan lembut yang Sabina berikan dan mulai kembali terlelap ke dalam tidurnya. Sabina mengecup dahi Grace dan turut larut dalam tidurnya.

*
*
*
*
*

"Sabina de Valera."

Sabina yang tengah menemani Grace dan Michelle bermain kupu-kupu pun menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia membungkuk hormat saat melihat kaisar Kenneth MacAlpin menghampirinya seorang diri.

"Aku belum sempat berterima kasih padamu karena sudah membebaskanku dari jeratan pengikut Daragh." Kenneth berdiri di hadapan Sabina lalu menepuk bahu wanita itu. "Terima kasih ya."

"Sudah menjadi tugasku, kaisar."

"Ada hadiah yang kau inginkan? Aku akan berusaha mengabulkannya."

Sabina tersenyum sopan, lalu menggeleng. "Tidak, kaisar. Aku senang bisa membantumu."

"Kau yakin?"

Sabina mengangguk.

"Baiklah. Tapi, kalau kau berubah pikiran. Katakan padaku ya."

"Baik kaisar. Terima kasih atas kemurahan hatimu."

"Ngomong-ngomong. Sejak kapan kamu bisa berkomunikasi dengan dewi Cliodhna?"

Sabina tampak berpikir. "Sudah cukup lama. Aku tidak begitu mengingatnya karena ya terjadi begitu saja."

Kenneth memperhatikan wajah Sabina dengan seksama. "Tapi kalau diperhatikan lebih detail, wajahmu ada sedikit kemiripan dengan Dewi Cliodhna."

"Benarkah?" Sabina memekik tidak percaya.

Kenneth mengangguk. "Kau seperti memiliki garis keturunan dengannya."

The Legend of NeverlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang