James merasa heran dengan Sabina. Sejak berinteraksi dengan seorang peramal di pasar, wanita itu hanya diam sepanjang perjalanan. Kira-kira apa yang diucapkan peramal itu? Tidak mungkinkan Sabina mempercayainya begitu saja?
Keduanya sampai di depan istana Atlanterra, lalu turun dari kuda gagah itu. Saat Sabina ingin masuk, James menahan tangan wanita itu, membuat Sabina menoleh padanya.
"Apa yang diucapkan nenek itu?"
"Kamu bilang peramal itu penipu. Tapi kamu penasaran dengan apa yang nenek itu ucapkan."
"Sejak dalam perjalanan kau diam. Apa kau mempercayai ucapannya?"
Sabina mengangguk. "Nenek itu bilang masa depanku akan cerah walaupun banyak rintangan yang harus aku lewati," ucapnya dengan asal.
James melongo mendengar ucapan Sabina. Ia pun tertawa mengejek, membuat Sabina mendengus dan memilih meninggalkan James sendirian di luar.
"Hey.. semua orang juga akan berpendapat yang sama. Jika ingin mendapat masa depan yang cerah, pasti melewati banyak rintangan lebih dulu. Hal seperti itu tidak perlu sampai bertanya pada seorang peramal. Mau saja kau dibodohi olehnya."
James mengatakan itu dengan sedikit berteriak. Sabina menoleh pada James tanpa menghentikan langkahnya, ia menjulurkan lidahnya dan membuat James geleng-geleng kepala dengan tingkah wanita itu.
Sabina masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di sisi ranjangnya, ia tampak melamun memikirkan pertemuannya dengan nenek peramal itu.
Nenek itu terlihat menormalkan ekspresinya dan mulai membacakan arti dari kartu yang ditunjuk Sabina. "Oh tidak. Masa depanmu begitu menyeramkan."
"Benarkah?"
Nenek itu mengangguk. "Kamu akan mati karena melindungi seseorang. Kamu berpikir, kamu adalah orang yang kuat, padahal tidak. Jadi, aku sarankan padamu. Mulailah pikirkan dirimu sendiri, jangan mencampuri urusan orang lain."
"Oh ya? Aku yang akan mati atau kau yang akan mati?"
Nenek itu terlihat marah dan baru saja ingin membalas ucapan Sabina, suara James yang memanggilnya kembali terdengar.
Sabina menarik napas dan mengusap wajahnya. Ia meletakkan tasnya di atas ranjang dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Berdiri di depan cermin dengan kedua tangan menyangga pada wastafel, Sabina menatap pantulan dirinya di sana.
"Kenapa aku berbicara seperti itu ya?" Sabina merenung. "Tapi memang aura nenek itu begitu kuat."
Di saat lagi sibuk memandangi wajahnya, tiba-tiba mata kanan Sabina yang berada di cermin berubah menjadi warna merah lalu menjadi warna silver dan dalam sekejap kembali normal.
Reflek Sabina berteriak melihat kondisi matanya itu. Ia sampai memundurkan tubuhnya dan jatuh terduduk di kamar mandi.
"Kak Sabina."
Suara Michelle terdengar memasuki kamar Sabina. Sabina sampai menghiraukan panggil Michelle, karena terlalu shock dan jantungnya berdegup dengan cepat. Ia amat sangat yakin kalau tadi matanya berubah warna.
Sabina menyentuh mata kanannya dengan tangan gemetar. Apa ini? Kenapa matanya bisa berubah warna? Apa selama ini memang matanya selalu berubah-ubah warna dan ia tidak menyadarinya?
Pikiran Sabina kembali melayang pada mimpinya waktu lalu. Di mana sesuatu tak kasat mata masuk ke dalam mata kanannya akibat perbuatan Cliodhna. Apa karena itu matanya jadi bisa berubah warna seperti ini?
Dan apakah orang-orang yang bertemu dengannya sudah melihat matanya yang berubah warna?
"Kak Sabina. Kamu di dalam?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Legend of Neverland
FantasíaDunia ini tidak ada ujungnya, dia adalah permulaan, juga merupakan akhir.