Semua makhluk hidup suatu saat akan bertemu dengan hari akhir. Sebab, dunia ini hanyalah sementara. Kamu hanya singgah sebentar, semakin hari umur terus berkurang, makin dekat pula dengan kematian.
Tidak ada yang pernah tahu tentang hidup dan mati. Ajal tidak memandang usia, jenis kelamin, derajat, paras, serta lainnya. Itulah yang tengah Sabina rasakan saat ini.
Rasanya baru kemarin ia dipertemukan dengan Matilda, seorang nenek baik hati yang hidup bersama cucunya di rumah yang begitu sederhana. Seorang nenek yang menolongnya saat pingsan di tepi sungai.
Hubungan yang terjalin dengan singkat tidak serta merta membuat keduanya berjarak. Justru hubungan singkat itu terjalin dengan begitu erat layaknya keluarga kandung.
Ikatan batin keduanya begitu erat. Rasa gelisah yang menghantui Sabina terjawab sudah. Sampai di rumah Matilda dengan kondisi banyak orang dan terdengar tangisan pilu Grace, tidak bisa membuat Sabina berpikir jernih.
Begitu masuk ke dalam rumah, Sabina hanya bisa terdiam kaku, menatap sang nenek yang terbaring dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya.
Grace menangis sambil terus memeluk tubuh nenek. Barbara dan Paul, sepasang suami istri itu berusaha menenangkan anak berusia 4 tahun itu.
James merangkul bahu Sabina, mengusapnya guna menenangkan. Air mata Sabina langsung menetes membasahi pipinya. Ia berjalan pelan dan membuat atensi mereka menoleh pada Sabina.
"Kakak," jerit Grace berlari menghampiri Sabina.
Sabina bersimpuh dan langsung memeluk tubuh kecil Grace. Grace makin menangis histeris, sedangkan Sabina hanya bisa menangis dalam diam. Para tetangga yang datang tidak bisa menahan air matanya melihat kedua cucu itu saling menguatkan.
Mereka juga benar-benar merasakan kehilangan sosok Matilda de Bohun. Seorang nenek yang pekerja keras, baik hati, suka menolong sesama, bahkan tidak pernah tersimpan amarah dalam hati wanita tua itu.
Grace melepaskan pelukannya, menatap Sabina dengan wajah yang memerah karena tangisannya yang tidak kunjung berhenti. "N-nenek.. hiks."
Sabina mengangguk sambil menghapus air mata anak itu. Ia pun menghampiri tubuh Matilda dan membuka penutup wajahnya. Wajahnya begitu pucat dan terlelap dengan begitu damainya.
Sabina mengusap wajah Matilda, memberikan kecupan lembut di dahi dan kedua pipinya. Sabina hanya bisa membatin, nek, kenapa kamu pergi begitu cepat? Belum banyak waktu yang kita habiskan bersama. Bahkan kamu belum melihat bagaimana akhir dari perjuanganku menolong dewi Cliodhna.
Barbara mengusap bahu Sabina, berusaha menguatkan wanita itu. Sabina pun memeluk tubuh sang nenek yang terasa dingin. Memeluknya dalam diam, seolah berharap Matilda akan bangun jika ia memeluknya.
Sabina memejamkan matanya dan air matanya jatuh membasahi pipi Matilda. Ia kembali menutup wajah Matilda lalu menoleh pada Paul. "Proses pemakamannya lakukan sekarang saja."
Paul mengangguk dan meminta para tetangga yang datang untuk membantu proses pemakaman malam itu juga, termasuk James yang juga turut membantu.
Barbara menghampiri Sabina lalu memberikan segelas air. "Minum dulu. Sejak datang dari perjalanan jauh, kamu belum minum sedikit pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Legend of Neverland
FantasíaDunia ini tidak ada ujungnya, dia adalah permulaan, juga merupakan akhir.