Bab 8

650 98 34
                                    

Semua hal harus dibuktikan, termasuk untuk urusan perasaan dan cinta.


Langkah kaki Irene terhenti saat wanita yang berada di atas ranjang tersebut memanggilnya, memaksa Irene kembali memasukkan ponsel ke saku jas dokternya.

Irene berbalik, langkahnya kembali mendekat ke ranjang pasien yang sedang menyerahkan sang bayi pada wanita yang berdiri di samping ranjangnya.

"Saya mewakili suami dan mertua saya juga minta maaf untuk kekacauan yang kami sebabkan di IGD. Saya sudah menghapus kicauan di sosial media yang ditulis oleh suami saya. Sekali lagi saya minta maaf."

Bibir Irene tertutup rapat, tetapi dalam hatinya wanita itu sedang memaki laki-laki bernama Arya.

"Terimakasih untuk kerjasamanya. Saya harap anda dan..." Irene menjeda ucapannya, bersamaan dengan itu matanya melirik ke arah gelang pasien di tangan sang ibu yang berwarna biru yang bersanding dengan gelang pasien berwarna merah muda milik sang ibu, mengartikan anak di gendongan tersebut adalah laki-laki.

"-anda dan putra anda sehat selalu. Kalau begitu saya permisi dulu, saya harus visite." Irene kembali menundukkan kepala sebelum benar-benar melangkah meninggalkan pasien tersebut.

Helaan napas mengiringi langkahnya menuju keluar ruangan bernomor dua tersebut.

"Arya yang dulu Direktur?" Bisik Erlin yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Irene.

"Hai Rene.."

Langkah kaki Irene terhenti saat sebuah suara yang dikenalnya menyebut namanya. Wanita itu berbalik, tatapannya dia arahkan lurus pada lelaki dengan paras yang bisa dia akui tampan dengan potongan rambut yang sedikit lebih panjang daripada saat dulu Irene sering melihatnya.

"Dokter Irene. Tolong panggil saya begitu." Ujarnya tegas. Tatapan matanya tajam, ekspresinya dingin dengan kepala yang sedikit mendongak, seolah memperjelas posisinya di tempat itu.

"Maaf, maksud saya dokter Irene." Ujarnya dengan senyum ramah yang justru membuat Irene semakin muak melihatnya.

"Apa kabar?" Lanjutnya berbasa-basi.

"Baik. Sangat baik." Jawabnya dengan senyuman angkuh yang seharusnya membuat siapapun yang melihat Irene saat ini sangat ingin menamparnya.

"Bisa bicara berdua sebentar?"

Irene memicingkan mata. "Untuk?"

"Hanya berbincang."

Irene menghela napas. "Saya datang ke rumah sakit untuk bekerja, bukan untuk berbincang."

"Apa salahnya berbincang dengan keluarga pasien?"

"Tapi saya bukan dokter obgyn." Jawabnya ketus. Membuat laki-laki bernama Arya itu seperti mendapat satu pukulan telak yang membuatnya diam.

"Direktur..." Bisik Erlin yang berdiri di sisi kirinya.

"Duluan aja Lin. Habis ini saya susul. Saya masih mau ketemu suami saya."

"Anda yakin?" Tanyanya ragu sembari menatap curiga ke arah Arya, laki-laki yang hampir saja dia habisi bersama 4 dewi J-Hospital beberapa tahun yang lalu.

Best WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang