Keheningan tercipta saat Aksara berfokus dengan kemudi mobil, Gia yang bermain dengan boneka kelinci di car seat bagian belakang sedangkan Irene yang masih terus berpikir bagaimana caranya untuk memberi tahu Aksara tentang pembicaraannya tadi pagi bersama Gia.
Beberapa kali Aksara tampak menghela napas. Entah karena kesal jalanan yang pagi ini terlihat padat atau kesal karena sesuatu yang lain.
"Mas, are you okay?" Telisik Irene begitu merasa lelaki di sampingnya tampak sedikit tersulut emosinya. Aksara hanya mengangguk, tanpa menoleh sedikitpun ke arah sang lawan bicara. Tatapannya masih berfokus ke arah jalanan yang memang sedikit padat pagi itu.
"Kalau capek biar aku yang nyetir." Ucap Irene yang merasa mulai lelah dengan ekspresi Aksara yang membuatnya semakin frustasi.
"Kalau apa-apa bisa kamu kerjain sendiri, buat apa kita balikan?"
Irene mengernyit dahi tanda tidak mengerti penyebab Aksara bisa mengucapkan kalimat yang terasa tidak nyaman saat masuk ke indra pendengarannya.
Irene memilih menghela napas sebelum melempar pandangan ke sisi berlawanan. Apapun yang terjadi, ada hal-hal yang Irene pastikan tidak akan pernah dilihat oleh Gia sebelum waktunya. Selain urusan ranjang antara Irene dan Aksara, Gia juga tidak boleh tahu saat kedua orang tuanya sedang bertengkar ataupun berdebat.
Begitu Aksara menghentikan mobil di rumah utama milik orang tua Irene, lelaki itu bergegas turun, meninggalkan Irene untuk membantu sang putri turun dari car seat miliknya.
"Eyang putri..." Teriak Gia begitu Aksara menurunkan tubuh mungil gadis kecil itu dari mobil. Seolah melupakan kedua orang tuanya, Gia segera berlari ke arah wanita berstatus dokter spesialis bedah syaraf tersebut.
Aksara yang bersiap mengikuti Gia segera di cegah oleh Irene.
"Kita bicara sebentar mas." Ucapnya seraya menggandeng tangan Aksara menuju ke taman yang berada di sisi kanan rumah mewah tersebut.
"Kenapa sih Rene?" Tanya Aksara begitu Irene memastikan tidak ada orang di sekitar mereka.
"Kamu kenapa sih mas? Tadi pagi kamu masih baik-baik aja lho ya."
Aksara menghela napas. Tangannya terangkat saat mengusap kasar rambutnya.
"Aku dengar obrolan kamu tadi pagi sama Gia."
Irene seketika hanya bisa memejamkan mata sembari memijat pelipisnya pelan.
"Kita harus tunda pernikahan kita sampai Gia siap dengan semuanya mas." Pinta Irene lirih.
"Itu artinya kamu akan kembali ke Belanda?"
"Kalau sampai tiga minggu kedepan Gia masih belum mau untuk menetap disini, ya mau gak mau aku harus kembali dulu. Aku gak mungkin kan nyuruh Gia milih antara kamu atau Hans?"
"Atau mungkin memang lebih baik kamu nikah sama Hans."
Ucapan Aksara berhasil membuat darah tenang dalam diri Irene tiba-tiba seperti mendidih.
"Jangan mulai deh mas. Kamu gila ya nyuruh aku nikah sama Hans setelah apa yang kita lakukan semalam? Kalau dari awal kamu memang gak niat berjuang, harusnya kita gak lakuin itu tadi malam." Ujarnya dengan sorot mata marah sebelum memilih meninggalkan Aksara untuk masuk ke dalam rumah.
"Rene..." Cegah Aksara saat menghalangi jalan Irene yang akan meninggalkannya.
"Aku mau berjuang, tapi masalahnya kalau Gia gak mau lepas dari Hans gimana? Gimanapun juga, Hans itu..."
"Gimanapun juga, kamu ayahnya Gia mas." Sela Irene penuh penekanan.
"Kalau kamu,-" Irene menjeda ucapannya sembari berusaha menahan emosinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Best Wedding
FanfictionIrene dan Aksara yang bersahabat semenjak bayi tiba-tiba harus menjadi sepasang suami istri akibat perjodohan karena mereka tidak juga menikah hingga usia mereka menginjak kepala 3. Entah pernikahan seperti apa yang mereka jalani, yang jelas apabila...