Bab 15

718 109 9
                                    

Perasaan yang sedang coba diterjemahkan oleh Irene membuatnya seharian ini sedikit gusar. Besok sang suami akan pulang, tetapi dia masih belum memastikan akan melakukan apa untuk menyambut sang suami besok.

Bolpoin di tangannya sejak awal hanya di ketuk-ketukkan di meja kerja. Pikirannya larut untuk mencari jawaban yang sampai sekarang belum bisa dia putuskan.

Helaan napas berat menjadi pertanda sang direktur sudah menyerah. Wanita itu bangkit dari kursinya. Langkahnya bergegas keluar dari ruangannya menuju ke ruangan pemilik tahta tertinggi di J-Group dan J-Hospital. Ya, siapa lagi kalau bukan sang ibu.

Irene mengetuk pintu di depannya sebelum masuk ke ruangan sang ibu. Jujur saja, dia juga tidak tahu harus bertanya apa pada sang ibu, tapi Irene membutuhkan ibunya untuk membuat keputusan. Setidaknya, untuk keputusan kali ini.

"dokter Irene ada perlu dengan saya?"

Irene menggeleng. "Saya ada perlu sama mama saya." Ujarnya menjelaskan bahwa dia ingin menemui ibunya, bukan ketua J-Hospital ataupun ketua J-Group.

Wanita berambut pendek itu tersenyum lembut. Sorot mata Irene sudah menegaskan bahwa ada keresahan di hati sang putri bungsu.

"Mama sudah visite?"

Wanita berusia pertengahan 50an itu mengangguk.

"Mama ada jadwal operasi?"

Kali ini gelengan kepala yang menjadi jawaban untuk wanita yang masih berdiri membelakangi pintu ruangan.

"Kamu ini mau ngapain sih dek? Ada perlu sama mama?"

Irene menghela napas pelan sebelum menganggukkan kepala.

"Irene perlu saran dari mama. Bisa?"

"Sure."

Wanita itu beranjak dari kursi kerjanya. Langkah kakinya dia arahkan ke sofa dimana sang putri sudah duduk dengan ekspresi tegang yang entah apa penyebabnya.

"Kenapa?"

Irene menggosokkan kedua tangannya. Tatapannya ragu, helaan napas beberapa kali meluncur bebas dari bibirnya.

"Besok mas Aksara pulang. Menurut mama, aku harus kasih kado apa?"

"Memang kamu punya pilihan apa di kepala kamu?"

Irene mengangkat pundaknya. Tatapannya menyapu ke seluruh ruangan, berusaha untuk tidak beradu tatap dengan sang ibu.

Sang mama menatap Irene dengan tatapan menelisik. Wanita itu tahu benar saat sang putri sudah bertanya, itu artinya dia hanya sedang bimbang dengan keputusannya. Irene tidak pernah datang kepadanya dengan tangan kosong, dia selalu sudah memiliki sesuatu, hanya saja wanita itu belum benar-benar bisa memutuskan.

"Rene.."

Irene mengangkat pandangannya. Tatapan menelisik dari sang ibu membuatnya tidak bisa berkutik.

"Kata Cantika sama Erlin suruh beli lingeri." Ujarnya sembari menunduk. Kalau boleh dijelaskan, Irene benar-benar malu kali ini harus membahas hal seperti ini dengan sang ibu. Tetapi bagaimanapun juga, dia butuh respon sang ibu.

"Terus?"

"Ya.. ya dipakai waktu mas Aksa pulang." Jelasnya canggung dengan terbata. Irene hanya bisa menunduk saat merasa wajahnya memanas. Dia yakin, wajah dan telinganya pasti sangat merah saat ini.

"Rene, mama boleh tanya?"

Irene mengangkat pandangannya. Wanita itu mengangguk saat berhadapan dengan tatapan lembut sang ibu.

"Mama tahu kalau kamu punya perjanjian aneh sama Aksara. Mama juga tahu kalian pisah kamar selama menikah. Tapi mama mau tanya, apa yang bikin kamu ragu sama Aksara?"

Best WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang