Bab 36

833 95 12
                                    

Getaran ponsel seolah memaksa Irene untuk membuka matanya perlahan. Aksara yang masih belum bergeming dengan menjadikan dada Irene sebagai sandaran saat berbaring membuat wanita itu sedikit kesulitan untuk bergerak.

"Mas, geser sedikit." Ucapnya pelan, berusaha agar tidak membuat laki-laki di dekapannya itu terganggu.

Aksara membuka matanya perlahan sebelum mendongakkan kepala. Melihat Irene masih berbaring di sisinya hingga pagi buta seperti ini adalah sebuah keindahan yang dulu pernah dia rasakan hampir setiap harinya.

"Geser sedikit, aku mau angkat telepon."

Aksara hanya mengangguk sebelum memberi jarak antara tubuhnya dan tubuh Irene.

"Halo ma.." Ucapnya setelah memastikan menerima sambungan telepon dari sang ibu.

[Dek, papa mertua kamu sudah sadar, tapi adek ipar kamu yang sampai sekarang masih belum sadar. Barusan mama dapat laporan dari ICU.]

Irene menghela napas. Ekor matanya melirik sosok yang kembali terlelap di sisi kanannya sebelum akhirnya wanita tersebut memutuskan untuk turun dari ranjang dan keluar dari kamar.

"Terimakasih informasinya ma." Ucapnya setelah menutup pintu kamar, memastikan bahwa Aksara tidak mendengar kabar yang sebenarnya tidak bisa dibilang baik juga.

[Kamu semalam tidur di rumah sakit?]

"Tidur di apartemen ma."

[Mama mertua kamu?]

"Ya tidur di apartemen juga, bertiga kami tidur disini."

[Kamu tidur satu kamar sama Aksa?]

Irene hanya menghela napas malas saat sang ibu mulai menelisik dengan siapa dan dimana sepasang mantan suami istri ini beristirahat semalam.

"Iya."

[Are you two?]

"Nggak ya ma. Irene gak segila itu untuk begituan disaat kondisinya seperti ini." Omelnya kesal sembari menunggu mesin kopi menyelesaikan pekerjaannya.

[Syukurlah kalau kamu masih bisa berpikir jernih.]

"Hmmm.." responnya dengan ekspresi malas.

"Ya sudah nanti biar Rene ke rumah sakit ma." Lanjutnya sebelum mengakhiri panggilan telepon dari ibunya yang berisi dua puluh persen informasi dan sisanya adalah interogasi.

Pintu kamar terbuka, membuat Irene harus berbalik untuk memastikan pintu mana yang terbuka.

Aksara, laki-laki dengan rambut sedikit berantakan dan mata sayu berdiri di ambang pintu kamar.

"Morning mas." Sapa Irene ramah dengan senyuman lembut di wajahnya. "Mas mau kopi?"

Aksara menggeleng. "Sejak kapan kamu minum kopi lagi? Bukannya kamu sudah gak pernah minum kopi?"

Irene mengangkat pundaknya. "Sekali waktu aku masih meminumnya kalau sedang rindu dengan si pembuat kopi andalanku." Ucapnya tersirat seolah membiarkan Aksara untuk menerka-nerka sosok yang dia maksud.

"Papa sama Arka gimana?" Tanyanya seraya mendekat ke area dapur yang hanya beberapa langkah dari kamar.

"Papa sudah bangun, tapi Arka yang belum bangun."

Aksara hanya mengangguk. Tatapannya tetap sendu bahkan setelah mendengar kondisi sang ayah yang sudah terbangun dari tidurnya.

"Mama belum bangun?"

Irene menggelengkan kepala seraya mengambil gelas kopi yang baru saja terisi penuh. "Sengaja gak aku bangunin, biar bisa istirahat lebih lama." Jelasnya kemudian tanpa berbalik ke arah Aksara.

Best WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang