Di hari yang lain, Irene yang baru saja turun dari lantai dua terlihat sangat rapi. Bahkan cincin pernikahan yang tidak pernah dia kenakan, kali ini melingkar indah di jari manis sisi kanannya.
"Mau kemana? Kok pakai perhiasan?"
"Hmm?" Irene mengalihkan pandangan ke arah Aksara yang memberinya segelas kopi panas.
"Mau ngajar."
"Harus banget dandan?"
Irene mengernyitkan dahinya. "Biasanya ke rumah sakit kan juga dandan?" Tanyanya tidak mengerti.
"Ya tapi kan gak yang begini banget dandannya." Ujarnya dengan ekspresi tidak suka.
Irene menghela napasnya. Entah kenapa akhir-akhir ini suaminya sedikit rewel dalam banyak hal, terutama dalam hal penampilannya saat harus keluar rumah.
"Mas gak kerja?"
Aksara menggelengkan kepala. "Nanti malam kan gala premiere filmku. Kamu datang kan?"
"Lihat nanti mas. Kalau nggak punya pasien urgent ya aku datang."
Lagi Aksara tidak bisa melawan kalau urusannya sudah tentang rumah sakit ataupun pasien Irene.
Aksara menarik kursi yang berada tepat di depan Irene walaupun mereka berdua disekat oleh meja makan.
"Rene, untuk kejadian yang malam itu..."
Aksara tidak melanjutkan kalimatnya saat Irene memberi tanda dengan tangannya agar Aksara berhenti.
"Anggap aja nggak pernah terjadi mas. Lagi pula waktu itu aku juga mabuk, emosi sama hormon aku juga lagi gak stabil. Anggap aja kita berdua cuma terbawa suasana."
Aksara tidak lagi bisa merespon ucapan Irene. Kerongkongannya terasa tercekat, membuat satupun kata tidak ada yang bisa keluar dari bibirnya.
Pagi itu, setelah Irene selesai mandi. Wanita cantik itu tiba-tiba mengatakan agar mereka berdua melupakan kejadian tentang ciuman panas mereka di malam sebelumnya. Entah apa yang terjadi selama Aksara meninggalkannya di kamar mandi, tetapi Irene benar-benar menjadi orang yang berbeda saat turun dari lantai dua.
Sikapnya kembali dingin, dia benar-benar kembali menerapkan batasan antara mereka berdua bahkan hingga hari ini, satu minggu setelah kejadian tersebut.
Di sisi lain, Irene yang saat itu menatap dirinya di cermin masih merasakan sensasi menggebu dari ciuman panas mereka malam itu. Hanya saja, keraguan dalam dirinya tiba-tiba menyeruak kuat. Jutaan pertanyaan tiba-tiba terlintas dibenaknya. Ada ketakutan sang suami akan bersikap seperti sang papa di masa depan yang membuatnya harus berpikir ulang sebelum menyerahkan seluruh tubuhnya untuk Aksara.
Hari itu, Aksara yang memang tidak memiliki agenda apapun memutuskan untuk mengantar sang istri ke kampus tempatnya mengajar. Tentu saja terjadi perdebatan yang cukup alot sebelum akhirnya Irene menyetujuinya.
"Nanti aku jemput terus sekalian makan siang?" Tanya Aksara begitu menghentikan mobilnya di area parkir kampus.
"Harus banget makan siang bareng?"
"Ya kan kita belum quality time minggu ini Rene. Kan sesuai perjanjian,-"
"Oke. Tapi makan di kantin kampus aja ya? Aku habis itu masih ada jam ngajar lagi soalnya." Selanya sebelum Aksara membahas lebih jauh tentang perjanjian yang mereka setujui di awal pernikahan mereka.
Aksara mengangguk setuju sembari membiarkan sang istri keluar dari mobilnya. Lambaian tangannya hanya dijawab dengan lirikan aneh dari Irene, dan itu adalah hal yang biasa bagi Aksara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Best Wedding
FanfictionIrene dan Aksara yang bersahabat semenjak bayi tiba-tiba harus menjadi sepasang suami istri akibat perjodohan karena mereka tidak juga menikah hingga usia mereka menginjak kepala 3. Entah pernikahan seperti apa yang mereka jalani, yang jelas apabila...