Bab 23

709 90 14
                                    

"Dari kapan kamu punya gejala begini?"

Irene mengalihkan pandangan ke arah sang suami yang sedang berkendara di sisi kanannya.

"Semingguan kayanya." Balasnya singkat.

"Yakin nggak mau periksa?"

Irene kembali menggeleng. Dirinya yakin tubuhnya hanya sedang lemah dan itu bukan sesuatu yang harus di khawatirkan.

"Istirahat di rumah aja. Lagian kalau periksa nanti malah bikin repot mas."

"Repot kenapa?"

Irene menyandarkan kepalanya. "Pekerjaanku masih banyak, kalau ternyata ada sesuatu yang serius nanti malah bikin repot semua."

Aksara mendengus kesal mendengar penjelasan istrinya.

"Bisa gak sekali aja kamu prioritasin diri kamu sendiri di atas pasien dan rumah sakit? Kamu juga butuh istirahat Rene."

Irene melirik ke arah Aksara. "Bisa gak sekali aja kamu prioritasin aku di atas Rena? Bukan cuma dia yang butuh kamu, aku juga butuh kamu buat bersandar dan istirahat." Ucapnya lirih yang seolah berhasil membungkam laki-laki yang baru saja berbicara panjang lebar itu.

Melihat tidak ada tanggapan dari sang suami, Irene hanya bisa tersenyum sinis. Wanita itu memilih mengarahkan kepalanya yang masih bersandar di kursi penumpang ke arah jendela mobil. Penyesalannya hari ini adalah meminta Aksara untuk tidak bertemu dengan wanita yang pernah dia cintai dengan sangat hebat di masa lalu, padahal harusnya dia tahu bahwa Rena akan selalu menjadi daftar prioritas sang suami.

Irene menaiki anak tangga rumahnya yang diikuti oleh Aksara.

"Mas.." panggilnya seraya berbalik, membuat keduanya saling berhadapan di tengah-tengah tangga.

"Aku rasa kita gak bisa jadi pasutri normal."

"Ha? Maksudnya?"

Irene menghela napas pelan. "Ayo kita menjadi teman sampai akhir seperti yang kita lakukan di awal pernikahan. Dengan begitu aku tidak akan menjadi penghalang kalau mas mau berhubungan lagi dengan Rena."

Aksara tidak tahu harus berespon seperti apa. Lebih tepatnya dia bingung dengan perubahan sikap Irene yang sangat drastis. Beberapa saat yang lalu, mereka bahkan masih berciuman di ruangan kerja Irene, dan sekarang wanita itu kembali meminta mereka untuk menjadi teman yang artinya tidak ada lagi kontak atau apapun selayaknya suami istri.

"Aku sudah nggak ada apa-apa sama Rena. Kami benar-benar sudah selesai 9 tahun yang lalu."

Irene hanya menarik satu ujung bibirnya dengan sinis. "Mas yakin? Coba tanya sama hati kamu sendiri. Saat aku butuh kamu, disaat yang sama Rena dan anaknya juga butuh kamu, siapa yang bakalan kamu dulukan? Hmm?"

Irene tahu sikapnya sekarang salah, atau mungkin orang yang melihat akan berpikir dia terlalu egois. Tetapi semenjak awal, Irene memang tidak pernah suka berbagi apapun yang dimilikinya, entah itu kekuasaan, harta bahkan laki-laki sekalipun.

Baginya, apa yang menjadi miliknya akan tetap menjadi miliknya sampai kapanpun, dan dia tidak suka saat ada orang lain merebut miliknya.

"Sayang, konsepnya nggak begitu. Semua kan tetap ada,-"

"Ada apa? Bilang aja kamu gak bisa jawab mas." Selanya tegas yang berhasil membuat lelaki di hadapannya terlihat frustasi.

"Lebih baik kita menjadi teman serumah saja. Jadi jangan pernah lagi masuk ke kamarku tanpa izin."

Irene meninggalkan Aksara yang kembali dibuat tidak bisa berkutik setelah mendengar ucapan sang istri yang lebih seperti pukulan telak baginya.

Di sisi lain, Irene yang baru saja melemparkan tubuhnya di atas ranjang hanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Wanita itu merasa kalah telak kali ini setelah melihat respon Aksara.

Best WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang