Bab 24

633 75 14
                                    

Irene hanya duduk diam di depan meja sang ibu saat ibunya baru saja menolak tegas keinginannya untuk pergi ke Belanda.

"Kenapa harus sekarang sih dek?"

Irene menatap ibunya dengan sorot mata tenang. "Memangnya kenapa ma kalau sekarang? Ada yang salah?"

"Kamu bahkan belum satu tahun menikah sama Aksara, apa kata orang kalau kamu pergi ke Belanda untuk waktu yang cukup lama?"

Irene menautkan kedua tangannya sebelum meletakkannya di atas pangkuannya sendiri. "Justru Irene mempermudah mas Aksara ma."

"Maksudnya?"

"Mas Aksa aku kasih pilihan. Kalau di waktu yang sama aku butuh dia dan Rena serta anaknya juga butuh dia, siapa yang akan dia prioritaskan? Dan dia gak bisa kasih jawaban ke Irene ma." Jelasnya dengan tatapan tenang tetapi tersimpan rasa sakit di dalamnya.

Tatapan tidak setuju dari sang ibu tiba-tiba berubah menjadi tatapan iba setelah putrinya menjelaskan suasana yang sebenarnya terjadi.

Tidak ada gurat kesedihan di wajah Irene. Ekspresi dingin, kaku dan tegas kembali menyeruak kuat di wajahnya, menandakan kalau wanita itu sedang membangun pertahanan diri agar tidak ada lagi yang menatapnya dengan tatapan iba.

Irene menghela napas sebelum berdiri dari duduknya.

"Saya harap ketua bisa segera memutuskan agar saya juga bisa segera berangkat ke Belanda."

"Kamu mau kemana? Mama antar periksa ya? Wajah kamu pucat banget dek." Irene melemaskan kakinya saat yang berbicara di hadapannya bukan lagi ketua rumah sakit tetapi ibunya.

"Nggak papa ma, Irene cuma kecapek'an." Ujarnya sopan sebelum berpamitan dan keluar dari ruangan sang ibu.

Kakinya tiba-tiba terasa lemas sesaat setelah menutup pintu ruangan sang ibu. Kepalanya tiba-tiba terasa berat, membuatnya harus bergegas ke ruangannya sendiri, paling tidak disana dia bisa berbaring sejenak.

Suara pintu terbuka menjadi tanda Irene memasuki ruangannya sendiri. Wanita itu sempat terhenyak saat melihat Cantika sudah berada di ruangannya.

"Ngapain disini? Gak punya ruangan?" Tanya Irene dengan nada sinis sembari berjalan menuju sofa panjang, sebelum memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas sofa.

"Pucat banget? Periksa gih."

Irene menghela napas berat. Hari ini, Cantika sudah menjadi orang keempat yang bertanya tentang kondisinya. Irene mengambil ponsel di saku jas dokter miliknya. Wanita itu menggunakan ponsel miliknya untuk memastikan sepucat apa dirinya hingga menyebabkan kekhawatiran orang-orang yang melihatnya.

"Nanti deh aku tutup lagi pakai make-up." Ujarnya santai sembari meletakkan ponselnya di meja yang berada di sisi kanannya.

"Rene, kalau sakit tuh periksa, bukannya di tutup make up!" Sergah Cantika dengan nada kesal.

"Kamu itu dokter, tapi selalu gak pernah peduli sama diri sendiri."

"Aku gak papa, cuma lagi capek sama stres aja." Elaknya lirih, membuat sang lawan bicara hanya bisa berdecih kesal melihat Irene yang selalu akan masuk IGD saat sudah tidak mampu berdiri lagi.

"Ini tadi ngapain sih disini? Gak kerja?" Celetuk Irene sarkas ke arah wanita yang duduk di hadapannya itu.

"Erlin bilang kamu mau ke Belanda?"

Irene memasang wajah malas. "Baru rencana, ketua juga belum setuju kok." Jelasnya dengan nada bicara yang tidak kalah malas dengan ekspresinya.

"Mau ngapain sih Rene? Kamu kurang enak apa disini?"

Best WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang