Aksara yang berlari menaiki anak tangga tampak sedikit terengah-engah begitu sampai di depan ruang ICU.
"Masih kuat pak lari dari lantai satu sampai lantai 5?" Goda Irene begitu Aksara mendekat ke arahnya.
"Jangankan lari. Gendong kamu dari lantai satu sampai lantai 12 aja aku masih sanggup." Ujarnya kemudian setelah berhasil mengatur nafasnya.
"Emang iya?"
Aksara melirik. "Mau dicoba?" Tantangnya dengan tatapan genit, yang tentu saja tidak ditanggapi oleh Irene.
"Gak mau masuk?" Tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Aksara menggeleng. "Biar mama yang di dalam. Bagaimanapun juga Arka anaknya mama." Ujarnya seraya memasukkan kedua tangannya ke sisi kanan dan kiri saku celana bahan yang dipakainya.
"Kapan mereka bisa pindah ke kamar biasa?
"Hmmm..." Irene menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Mungkin besok. Paling nggak mereka harus benar-benar stabil dulu untuk bisa pindah ke rawat inap biasa." Jelasnya seraya tetap menatap lurus dinding kaca yang ada di hadapan mereka.
"Itu artinya malam ini kita gak bisa satu kamar?"
Irene melirik menggunakan sudut mata. Tidak ada tatapan jahil dari Aksara, yang menandakan ucapannya kali ini benar-benar serius dan tulus, bukan berdasar karena nafsunya sebagai laki-laki.
"Kita perlu bicara deh mas kayanya."
"Tentang?"
Irene diam. Hati dan pikirannya sedang coba menimbang apakah dia harus melakukan apa yang dikatakan oleh Kaira atau tidak.
"Tentang apa Rene?" Desak Aksara saat tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya.
Irene berbalik ke sisi kanan, tepat dimana Aksara berdiri. "Tentang kita." Ucapnya tegas dengan sorot mata yakin, membuat sang lawan bicara juga menatapnya dengan tatapan serius saat mendengar jawaban Irene.
Aksara mengangguk. "Nanti kita bicara di rumah setelah aku kerja." Ucapnya lembut yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Irene.
Hari itu, sang ibu mertua memutuskan untuk pulang, begitu juga dengan Irene yang memutuskan membawa pulang Gia ke rumah.
"Mami, uncle sama opa kenapa?" Tanyanya begitu mereka memasuki rumah.
"Uncle sama opa sakit, jadi mereka harus tidur di rumah sakit dek." Jelasnya dengan bahasa yang sebisa mungkin bisa dipahami oleh Gia.
"Gia boleh ketemu mereka?"
Irene menoleh ke arah gadis kecil yang tiba-tiba menatapnya dengan ekspresi sendu. Irene tersenyum simpul sebelum berlutut di depan Gia, mencoba mensejajarkan tinggi badannya dengan sang putri.
"Boleh. Tapi nggak sekarang."
"Kapan?"
"Nanti kalau kondisi opa dan uncle sudah membaik. Ya?"
"Ya itu kapan mami?" Protesnya dengan nada kesal karena tidak puas dengan jawaban sang ibu.
"Nanti kalau uncle dan opa sudah sehat." Sela seorang lelaki yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu rumah Irene.
"Papi" Teriak Gia antusias sembari berlari ke arah laki-laki yang membawa bouquet bunga di tangan kirinya dan sebuah paperbag berukuran sedang di tangan kanannya.
"Papi bawa apa?" Tanyanya penasaran.
"Ini buat Gia,-" Aksara menjeda kalimatnya seraya menyerahkan paper bag coklat di tangan kanannya.
"Yang itu?" Gia menunjuk penasaran dengan bunga yang sudah berpindah di tangan kanan Aksara.
"Ini buat mami." Ucapnya dengan senyuman lembut saat tatapannya dan Irene beradu walaupun hanya sepersekian detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Wedding
Fiksi PenggemarIrene dan Aksara yang bersahabat semenjak bayi tiba-tiba harus menjadi sepasang suami istri akibat perjodohan karena mereka tidak juga menikah hingga usia mereka menginjak kepala 3. Entah pernikahan seperti apa yang mereka jalani, yang jelas apabila...