Bab 40

823 99 19
                                    

Irene turun dari mobil begitu sampai di depan kantor Aksara. Hari ini, lelaki bertatus mantan suaminya itu berkantor di AnD.Ent, membuatnya lebih berani untuk menyusul Aksara karena memang tidak terlalu banyak pasang mata yang mengenalinya.

"Presdir?" Sapa Mario dengan sorot mata terkejut melihat mantan istri bosnya ada di kantor.

"Bisa saya bertemu Aksara?" Pintanya sopan dengan suara sedikit pelan, berusaha agar tidak menarik perhatian para pegawai yang sepertinya tidak terlalu mengingatnya.

"Pak Aksa masih ada rapat dengan artis dan juga produser film. Bagaimana kalau anda saya antar menunggu di ruangan pak Aksara?"

"Apa tidak masalah?" Tanyanya ragu. Mario hanya tersenyum sembari mengangguk. Dengan langkah yakin, lelaki itu itu mendahului Irene masuk ke dalam lift untuk naik ke ruangan Aksara yang berada di lantai lima.

"Presdir maaf kalau saya lancang. Anda berdua tidak sedang bertengkar kan?"

"Hmm?" Irene menoleh dengan ekspresi bingung. Lebih tepatnya, dia bingung harus berespon seperti apa dengan pertanyaan Mario.

Sadar dengan ekspresi kebingungan Irene, Mario bergegas menjelaskan bahwa tadi pagi Aksara datang dengan ekspresi murung dan suasana hati yang tidak terlalu baik. Bahkan Aksara sudah cukup lama tidak mengkonsumsi americano di pagi hari, tetapi pagi ini dia kembali meminta es americano untuk di sediakan di mejanya.

Irene hanya mengangguk. Senyuman tipis dan sorot mata canggung seolah sudah menjelaskan semua keadaan yang dirasakannya saat ini, membuat Mario tidak berani untuk bertanya lebih jauh lagi tentang apa yang terjadi di antara keduanya.

Mario membukakan pintu ruangan Aksara, ruangan yang Irene sendiri sudah tidak terlalu ingat bagaimana keadaaannya sebelum dia pergi ke Belanda. Pandangannya dia sapukan ke segala arah hingga berhenti di sisi kiri ruangan, tatapannya terpaku pada sebuah foto pernikahan yang masih tergantung dengan indah disana.

"Kenapa Aksara masih memajang foto itu?" Tanyanya seraya mengangkat telunjuknya ke arah foto pernikahan Irene dan Aksara, enam tahun yang lalu.

"Saya tidak tahu presdir. Saya sudah pernah meminta pak Aksara untuk menurunkannya, tapi pak Aksa bilang dia tidak mau menyakiti anda kalau suatu saat anda pulang dan tidak menemukan satupun foto pernikahan di ruangannya."

Irene hanya tersenyum mendengar alasan Aksara yang sebenarnya cukup tidak masuk akal, setidaknya bagi Irene. Mereka sudah berpisah enam tahun yang lalu, Irene bahkan pernah ada di masa tidak mau bertatap muka sama sekali dengan Aksara, tetapi lelaki itu bahkan masih dengan yakin menyimpan salah satu bukti kenangan indah mereka di masa lalu.

"Saya tinggal dulu ya presdir?"

Irene hanya mengangguk. "Terimakasih pak Mario." Ucapnya kemudian yang hanya dijawab dengan senyuman dan anggukan kepala oleh Mario sebelum menghilang dari balik pintu ruangan Aksara.

Seperginya Mario, Irene kembali menyapukan pandangannya ke segala arah hingga kembali berhenti di meja kerja Aksara, lebih tepatnya tatapannya berfokus ke arah sebuah pigura dengan bentuk buku yang berada di meja kerja Aksara. Pelan tapi pasti, langkahnya mendekat ke arah meja. Di ambilnya pigura tersebut yang berisi dua foto di dalamnya. Satu foto yang berisi dirinya, Gia dan Aksara, dan satu foto di sisi kanan adalah foto pernikahan mereka saat untuk pertama kalinya mereka berciuman di depan banyak orang.

"Dasar mesum! Dari sekian banyak foto kenapa harus foto ini yang dipasang?" Ujarnya kesal walaupun bibirnya tersenyum. Irene benar-benar tidak tahu kalau Aksara memiliki sisi seperti ini. Dia benar-benar berusaha menjadi ayah yang baik untuk putri mereka, setidaknya itulah yang dilakukan Aksara selama hampir empat tahun terakhir.

Best WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang