Bab 41

714 99 27
                                    

Aksara masih diam di depan pintu rawat inap sang ayah. Helaan napas masih terus menerus meluncur bebas darinya. Tangan kanannya sudah berada di gagang pintu, tetapi entah kenapa hamir lima menit lelaki itu seolah-olah merasa sangat berat untuk membuka pintu ruangan tersebut.

"Mas..." Panggil Irene lembut. Tangannya mengusap lembut punggung Aksara yang masih diam mematung di depan pintu.

"Jangan hari ini ya Rene?" Ujarnya memperjelas keraguan hatinya yang seolah ingin meminta waktu lain untuk menemui kedua orang tuanya.

"Mas, sekarang waktu yang tepat. Masuk terus obrolin semuanya. Kamu tahu benar rasanya jauh dari anak kan? Sama, papa juga merasa selama ini kamu jauh banget dari beliau."

Aksara kembali menghela napas sebelum akhirnya tersenyum. "Kamu ikut masuk?"

Irene menggeleng, membuat pertanyaan Aksara menguap tanpa adanya jawaban pasti selain gelengan dari Irene.

"See you nanti ya mas."

Aksara hanya tersenyum kaku saat Irene memilih meninggalkan laki-laki yang masih mematung di depan pintu tersebut. Seperginya Irene, Aksara kembali mengumpulkan niat sebelum akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu ruangan sang papa yang tentu saja ada sang ibu tiri di dalamnya.

"Hai pa." Sapanya canggung begitu berdiri membelakangi pintu.

"Hai Sa. Mantu papa mana?" Pandangannya seolah menunggu seseorang yang akan muncul di balik pintu yang ada di belakang Askara.

"Irene ada rapat." Ucapnya canggung yang membuat keheningan kembali menyapa ruangan yang berisi satu sofa untuk tiga orang dan dua sofa single di sisi kanan ruangan yang beseberangan dengan ranjang sang ayah.

"Masuk Sa. Kebetulan mama mau nengok Arka sebentar." Ujar wanita yang hari itu mengikat rapi rambut panjangnya walaupun hampir seluruhnya sudah berwarna putih.

"Duduk aja ma. Aksa mau ngobrol bertiga."

"Apa Sa?" Wanita itu seolah ingin Aksara mengulang ucapannya yang terdengar cukup asing di telinganya.

"Aksa mau ngobrol bertiga."

"Bukan,-" Sela sang ibu. "-kalimat sebelum itu. Kamu panggil saya apa?" Ucapnya coba memastikan.

Aksara hanya bisa menggaruk pelipisnya. "Mama." Ucapnya canggung dengan suara pelan yang masih bisa jelas terdengar di tengah-tengah keheningan ruangan tersebut. Aksara mengedarkan pandangan ke semua arah, berusaha untuk tidak bertatap mata dengan wanita yang sedang duduk di sisi ranjang sang ayah.

Di sisi lain, lelaki yang sedang berbaring dengan posisi kepala yang ditinggikan sekitar tiga puluh derajat tersebut tampak tersenyum tipis mendengar sang putra untuk pertama kalinya sedikit melunak setelah hampir puluhan tahun bersikeras dengan semua kenangan buruk yang ada di ingatannya.

"Duduk sini mas." Panggil sang ayah, membuat Aksara mau tidak mau menoleh ke arah dua orang yang sedang menatapnya dengan tatapan yang cukup hangat, setidaknya itulah yang dirasakan Aksara walaupun sebenarnya dua orang itu selalu menatap Aksara dengan cara yang sama.

Sang ibu beralih, meninggalkan kursi yang sedari tadi dia duduki di sisi ranjang suaminya seolah mempersilahkan Aksara untuk mengambil alih kursi tersebut. Sedangkan sang ibu tampak mengambil sisi kosong yang ada di sisi ranjang sang suami.

"Kamu mau ngomong apa?" Tanya sang lelaki dengan potongan rambut penuh uban yang berubah setelah operasi syaraf beberapa hari yang lalu. Lelaki yang biasa mengenakan kacamata itu hari ini tampak tidak mengenakan kacamatanya, di kepalanya masih ada perban setelah operasi yang terjadi.

Aksara yang baru saja duduk di kursi hanya bisa menelan salivanya beberapa kali yang justru membuat kerongkongannya terasa semakin kering.

"Aksa mau minta maaf. Minta maaf ke papa sama,-" Askara menjeda ucapannya. Tatapannya beralih ke arah sang ibu tiri yang masih duduk di sisi ranjang rumah sakit, tempat ayahnya berbaring.

Best WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang