Bab 9

656 112 17
                                    

Tidak ada yang benar-benar bisa dipastikan dalam hidup ini, apalagi jika itu berhubungan dengan masa depan dan perasaan seseorang. Begitu juga dengan Aksara dan Irene yang sudah memasuki usia pernikahan 5 bulan.

Kehidupan mereka sempurna, setidaknya itulah yang terlihat. Perdebatan kecil mereka di rumah hanya berkutat seputar Aksara yang meletakkan kaos kaki sembarangan begitu pulang kerja, atau mungkin handuk yang dia letakkan di sofa atau dia bawa ke kursi makan begitu selesai mandi.

Tidak ada bedanya bukan dengan pernikahan lainnya? Yang membedakan hanya mereka tidak tidur dalam satu kamar dan satu ranjang. Tidak ada ciuman selamat pagi ataupun aktivitas pagi yang dinamakan morning sex.

Disaat pasangan suami istri lain akan berpelukan saat akan tidur dan membicarakan apa yang terjadi sepanjang hari, mereka akan membicarakannya di meja makan saat makan malam, itupun saat Irene tidak memiliki panggilan darurat atau saat tidak harus berjaga malam di rumah sakit.

Layaknya hari ini, Aksara harus menghela napas pelan saat dia pulang ke rumah dengan kondisi rumah utama masih gelap, tanda Irene tidak di rumah.

Sang istri harus jaga malam hari ini, membuatnya harus makan malam di luar karena sebenarnya Aksara selalu nyaman mendengar semua cerita Irene tentang yang terjadi padanya selama satu hari penuh.

Aksara melemparkan tubuhnya ke atas sofa. Tangan kanannya dia jadikan bantalan, tatapannya tertuju pada foto besar dimana dirinya dan Irene tampak sedang berciuman saat di altar. Ya, itu adalah satu-satunya ciuman bibir yang tidak bisa ditolak oleh Irene darinya.

"Kenapa kita cuma teman ya Rene?" Tanyanya pada diri sendiri sembari menghela napas beberapa kali.

Tanpa terasa, lamunannya justru membawa lelaki itu masuk ke alam mimpi, membiarkan tubuh lelahnya merasa rileks walaupun di atas sofa dan bukan ranjang yang hampir empat bulan terakhir dia tempati.

Di tempat lain, Irene yang sedang berbaring di sofa ruangannya sedang menatap langit-langit ruangannya dalam diam. Isi kepalanya sedikit berisik akhir-akhir ini. Bukan, bukan karena urusan pekerjaan. Wanita itu selalu bisa mengurus semua pekerjaannya walaupun terkadang membuat kepalanya terasa pecah. Keresahannya kali ini karena hatinya yang menjadi sulit dia kendalikan setiap kali berdekatan dengan Aksara dalam radius jarak yang sangat dekat.

"Kenapa jadi gini sih Sa?" Keluhnya seolah-olah sedang berbicara pada Aksara tentang keresahannya.

"Perasaanku ke kamu jadi aneh padahal kita sudah kenal dari kamu umur 6 tahun dan aku 3 tahun." Lagi helaan napas berat menjadi penanda keresahan hati seorang Irene.

************

Irene masuk ke rumah dengan posisi rumah kosong. Mobil Aksara masih di rumah, tapi saat wanita itu memanggil sang suami, tidak ada satupun panggilannya yang mendapat jawaban balasan. Irene menghela napas, wanita itu yakin sang suami masih berolahraga di gym yang memang menjadi salah satu fasilitas dari hunian tempatnya dengan lokasi yang jauh dari rumahnya.

Irene membuka blazer yang membalut tubuh bagian atasnya, menampilkan crop top yang sebelumnya tertutup rapat di bagian dalamnya. Tangan kanannya menarik sisi kiri lengan blazernya, begitu juga dengan sebaliknya. Rambutnya dia ikat sembarangan ke bagian atas, menyisakan beberapa bagian rambutnya yang masih terurai, yang justru membuatnya terlihat sexy, setidaknya di mata Aksara yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu.

"Rene.."

Irene terhenyak saat mendengar suara berat sang suami yang entah kapan sudah berdiri di belakangnya. Wanita itu berbalik, membuat Aksara harus mengkondisikan matanya agar tidak mengarah pada tubuh bagian atas Irene yang memperlihatkan perut ratanya dan juga bagian dadanya yang sedikit rendah.

Best WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang