Gia, gadis kecil yang akan berulang tahun ke enam di akhir tahun nanti hanya diam di car seat bagian belakang sembari menikmati es krimnya. Sedangkan dua orang dewasa yang berada di bagian depan hanya saling diam. Irene merasa tenaganya cukup terkuras habis setelah seharian mendengar dua narasi panjang dari sang ibu dan juga ibu mertua karena "kesalahan" nikmat yang dia lakukan bersama Aksara.
"Mami."
Irene mendongakkan kepala, menatap spion kecil yang berada di tengah. "Kenapa dek?"
"Gia kangen uncle Hans. Boleh telepon gak nanti begitu pulang?"
Irene melirik sekilas ke arah Aksara, takut kalau pertanyaan sang putri akan merusak suasana hati laki-laki di sampingnya. Irene membuka ponselnya, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 5 sore yang artinya di Belanda sekarang pukul 12 siang.
"Boleh. Nanti begitu sampai rumah kita telepon uncle Hans."
"Yess." Ucapnya seraya mengepalkan tangan tanda kemenangan dengan mata berbinar. Di sisi lain, Irene ragu dengan suasana hati laki-laki yang tidak memberikan respon apapun padanya itu. Aksara masih diam, tatapannya masih berfokus dengan kemudi dan jalanan, seolah-olah tidak mendengar percakapan antara Irene dan Gia.
"Mas." Panggilnya coba memastikan suasana hati laki-laki yang mungkin bisa disebut kekasihnya.
Aksara meraih tangan kanan Irene lalu mengecupnya singkat.
"Its okay." Ujarnya dengan senyuman manis yang seolah paham dengan kekhawatiran Irene. Tidak ada lagi obrolan di antara mereka setelahnya, hanya saja sekarang Irene tampak tidak mau melepaskan tangan kiri Aksara, membiarkan lelaki itu berkendara hanya dengan satu tangan.
Sesampainya di rumah, seperti pesan dua orang ibu yang memberi mereka narasi panjang hari ini, Aksara bergegas untuk pamit pulang. Bagaimanapun juga, mereka sudah sepakat tidak akan tinggal di satu atap yang sama sampai keduanya kembali menjadi suami istri.
"Mas, kasih taunya Gia gimana ya?" Ujar Irene begitu sang putri berlari masuk ke dalam rumah.
"Nanti biar aku yang coba ngomong pelan-pelan. Kamu jangan terlalu banyak pikiran." Aksara mengusap lengan wanita yang sedang gundah di hadapannya.
"Nanti setelah menikah lagi, kalau kita gak usah punya anak lagi boleh gak? Biar Gia aja."
"Terserah kamu. Aku ngikut aja."
Irene hanya mengangguk mengerti sebelum sebuah kecupan lembut dari Aksara mendarat di keningnya.
"Pulang dulu ya."
"Pamit ke anaknya dulu." Pinta Irene seraya menahan lengan Aksara.
Lelaki itu bergegas masuk ke dalam rumah, memanggil gadis kecilnya sebelum berpamitan pulang yang anehnya langsung diizinkan oleh putri kecilnya.
"Gia masih marah sama papi?" Tanyanya begitu berlutut di depan sang putri.
"Papi bohong ke Gia."
Aksara menghela napas. Dia tahu, mau sehebat apapun dia menjelaskan kepada Gia, meminta maaf adalah satu-satunya cara untuk meredam kemarahan gadis kecilnya itu.
"Papi minta maaf. Papi janji gak akan bohongin Gia lagi."
Gadis kecil yang masih memeluk boneka kelinci milik ibunya itu hanya menatap sinis ke arah Aksara.
"Papi janji?" Tanyanya serius saat coba mengkonfirmasi perkataan ayahnya.
Aksara mengangguk. "Papi janji."
"Kalau bohong lagi, apa hukumannya?"
Aksara menyipitkan mata, membuat ekspresi seolah sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaan sang putri. "Gia mau kasih hukuman apa buat papi kalau sampai papi bohong lagi?"
"Gia bakalan bawa mami balik ke Belanda kalau papi bohong lagi." Ancamnya serius yang membuat Aksara bingung antara harus bersyukur atau harus marah karena di ancam oleh putrinya sendiri.
"Memangnya Gia gak akan balik ke Belanda?"
Gia menggeleng. "Kata eyang putri Gia harus disini karena mami sama papi mau tinggal disini."
Aksara melirik ke arah Irene yang berjalan mendekat ke arahnya saat mendengar penuturan sang putri.
"Dek," Irene meraih tangan mungil Gia. "Kalau Gia mau kita pulang ke Belanda, mami nggak papa kok. Kita bisa hidup bertiga disana, iya kan pi?" Irene melemparkan pandangan ke arah Aksara yang langsung dijawab dengan anggukan kepala.
"Tapi kalau kita kembali kesana bertiga, itu artinya uncle Hans sudah gak boleh main ke rumah kan mi?"
"Dek, bukan gitu..." Irene terdiam saat Aksara menyentuh lembut pergelangan tangannya. Tatapan dan gelengan kecil dari Aksara menjelaskan agar Irene tidak perlu melanjutkan kalimatnya.
"Sayang," Aksara memanggil lembut sang putri. "Om Hans tetap boleh kok main ke rumah, tapi ya om Hans sudah gak bisa nginap kaya dulu. Kan di rumah nanti ada papi. Katanya Gia mau kita sama-sama terus setiap hari? Ini papi sama mami sedang berusaha biar kita bisa sama-sama setiap hari."
"Tapi kasihan uncle Hans pi."
Aksara tersenyum lembut sebelum memeluk putri kecilnya. Kalau boleh jujur, Aksara sudah kehabisan kata kali ini untuk menjelaskan semuanya. Bahkan otaknya buntu, tidak bisa lagi merangkai kata untuk memberi pengertian kepada sang putri.
Aksara melepas pelukannya lalu menatap mata Gia, mata yang sama persis seperti milik sang ibu, Irene.
"Gia sayang ya sama uncle Hans?"
Gadis kecil itu mengangguk. "He's the best man mami and Gia have ever met."
"Papi tahu. Tapi bagaimanapun juga, suatu saat uncle Hans akan punya keluarga sendiri nak. Suatu saat, uncle Hans akan hidup bersama keluarganya."
"Can't mami and I be family to him?"
Irene cukup terkejut dengan pertanyaan Gia. Sedangkan Aksara benar-benar kehabisan kata, bahkan untuk hanya sekedar merespon ucapan Gia saja dia sudah merasa tidak mampu kali ini.
Aksara hanya tersenyum. Lelaki itu mengecup kening Gia sebelum berdiri.
"Papi pulang dulu ya? Kamu baik-baik di rumah sama mami."
"Be careful papi."
Aksara meletakkan tangan kanannya di pelipis seperti posisi hormat. "Siap komandan." Ujarnya kemudian.
Tanpa berbicara lebih jauh, Irene mengikuti langkah Aksara, meninggalkan Gia yang sudah kembali berlari ke ruang bermainnya.
"Mas aku minta maaf ya, aku gak tau kalau Gia..."
Lagi-lagi ucapan Irene terhenti saat Aksara memeluknya, membuat seluruh saraf-saraf di tubuhnya terasa seperti kaku hingga tidak mampu bergerak.
"Mas yang harusnya minta maaf. Karena kebodohan mas di masa lalu, sekarang kita jadi seperti ini."
Aksara mengecup singkat kepala Irene. "Maaf ya." Ujarnya kemudian yang membuat Irene membalas pelukan Aksara semakin erat.
"Kasih mas waktu ya. Mas akan berusaha jelasin pelan-pelan ke Gia."
Irene hanya mengangguk dalam dekapan Aksara. Tidak ada lagi respon yang bisa dia berikan selain hanya anggukan kepala. Pelukan itu cukup lama, dimana seolah keduanya tidak mau terpisah.
Aroma parfum Aksara yang tidak pernah berubah selalu menjadi lebih harum saat sudah menyentuh permukaan kulit sang mantan suami, membuat indra penciuman Irene merasa tergelitik setiap kali menarik dalam-dalam aroma di tubuh Aksara.
"Tolong jangan menyerah ya mas sama kami berdua." Pinta Irene lirih.
"Mas nggak akan menyerah. Apapun yang ada di depan, mas akan jadi tameng untuk kalian. Jadi tolong jangan pergi jauh lagi ya?"
"Iya."
tbc ........

KAMU SEDANG MEMBACA
Best Wedding
ФанфикIrene dan Aksara yang bersahabat semenjak bayi tiba-tiba harus menjadi sepasang suami istri akibat perjodohan karena mereka tidak juga menikah hingga usia mereka menginjak kepala 3. Entah pernikahan seperti apa yang mereka jalani, yang jelas apabila...