Setelah malah main futsal dan bukannya mengerjakan tugas kelompok mereka, seperti yang sudah disarankan oleh Cia, mereka berdua akhirnya menggunakan ChatGPT karena waktu yang mepet. Dan mereka menjadi salah satu dari kelompok yang mendapat nilai tertinggi.
Kini Alam dan Cia sedang berada di sebuah kafe dengan laptop masing-masing di depan mereka.
“Tuh, kan! Sudah kubilang kalau kita bakal dapat nilai tinggi.”
“Nilai tinggi tapi pakai ChatGPT buat apa? Aku tidak bangga sama sekali,” ucap Alam.
“Oh, ayolah. Cuma sekali doang, kok. Besok-besok enggak, deh.”
“Bilangnya begitu, tapi nanti pasti pake lagi, tuh.”
“Hehe.”
Sebenarnya tugas mereka tidak selesai sampai di sini. Tugas tadi hanyalah langkah pertama dari tugas lain yang lebih merepotkan. Sekarang sudah memasuki penghujung semester, jadi sekarang saatnya tugas akhir semester.
“Oh iya, kita masih sekelompok untuk tugas akhir, kan?” tanya Cia.
“Masih, aku tidak mau menyerahkan mu ke kelompok lain begitu saja. Aku sudah klop denganmu, jadi tidak akan kubiarkan orang lain merebut mu.”
“Eh?”
Kata-kata Alam membuat wajah Cia memerah. Padahal itu sama sekali bukan seperti yang ia pikirkan. Alam tidak sadar kalau kata-katanya barusan bisa membuat semua perempuan salah paham, meski ia tidak bermaksud.
Alam bahkan mengatakan hal itu tanpa melihat ke arah Cia. Dia juga bingung kenapa Cia tiba-tiba berhenti bicara. “Kenapa diam? Wajahmu merah, tuh. Kepanasan?” Lalu Alam bertanya dengan polosnya.
“E-Eh? T-Tidak, kok. Aku baik-baik saja.” Cia mencoba bersikap biasa saja padahal dia salting brutal. “Ngomong-ngomong, tugas akhir kita apa, deh?” Dan dia berusaha mengalihkan pembicaraan.
Sebelum menjawab, Alam menghela napas berat.
“Tugas akhirnya adalah menjual produk buatan kita. Kelompok-kelompok akan mendirikan sebuah stand dan menjual produk kita. Penilaian nya berasal dari laporan penjualan yang terdiri dari seberapa laku produk kita dan seberapa besar kita bisa mengiklankannya.”
“Uwaah, berat juga,” ucap Cia.
“Bukan berat lagi, ini sudah berat banget namanya.”
Alam punya pengalaman buruk soal mendirikan stand di daerah kampus. Saat itu jualannya hampir tidak laku satu pun, beruntung ada Moona yang membantunya menawarkan dan jualannya langsung ludes dalam sekejap mata.
“By the way, kita tidak bisa melakukan semuanya berdua. Kamu punya kandidat anggota kelompok lain?” tanya Alam.
“Hehe! Tenang saja, aku sudah mendapatkannya sebelum kita ketemuan di sini.”
“H-Hebat, bagaimana bisa?”
“Sebenarnya banyak yang mau satu kelompok denganku, tapi semenjak satu secara tidak sengaja satu kelompok denganmu, aku menolak mereka semua. Lebih seru satu kelompok denganmu soalnya.”
“Apa tidak apa-apa menolak teman-temanmu? Nanti kalau dijauhin bagaimana?”
“Tidak masalah, aku tinggal main ke kos-kosan mu saja.”
“Kau benar-benar sudah akrab dengan mereka, ya?” gumam Alam.
Pantas saja Alam sering merasakan tatapan tak mengenakkan dari para teman laki-laki di kelasnya, ternyata mereka hanya iri karena Alam selalu satu kelompok dengan Cia.
Dan dengan sikap gampang akrab dari Cia, tidak heran jika dia mudah mendapatkan teman kelompok. Beda dengan Alam. Sedikit menyedihkan kalau diceritakan, tapi ia sudah terbiasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kos-Kosan HoloID : Season 2
Fanfikce(Slow Update) Fanfic yang (lagi-lagi) menceritakan tentang kehidupan sehari-hari dari member Hololive ID gen 1, gen 2, dan gen 3