Seokjin memundurkan langkah, memastikan bahwa setiap ruang memiliki pintu masing-masing yang membutuhkan kartu akses yang berbeda dengan ruang lainnya untuk membukanya.
Si sulung tampan itu menghela nafas dalam untuk menenangkan rasa terkejutnya dan memutuskan untuk menunggu anak laki-laki berkacamata itu selesai berdoa.
Tak lama kemudian, anak laki-laki itu pun selesai dengan ritualnya. Ia terlihat membuka mata, berdiri dan membalikkan badan ke kanan yang membuat tatapannya bertemu dengan tatapan Seokjin yang masih berdiri diambang pintu.
Jika Seokjin masih tampak begitu terkejut dengan kehadiran anak itu namun raut yang sama justru sama sekali tak terlihat dari wajah anak tersebut.
Dengan tenang, anak itu berjalan mendekati Seokjin, berhenti di hadapannya lalu membungkuk dengan sopan.
"Selamat malam" sapa anak itu dengan suara rendah dan dalam.
Seokjin membungkuk sekilas untuk menjawab sapaan sementara matanya masih mengamati dengan lekat rupa anak berseragam sekolah SMA itu.
Dia sungguh tampan. Berhidung mancung, berkulit putih mulus dengan rambut hitamnya yang sangat terawat. Kacamata dari merk terkenal yang ia gunakan semakin memperjelas bahwa anak itu berasal dari kalangan berada.
"S-siapa ya?" Tanya Seokjin.
"Maaf sudah bikin Kakak terkejut. Saya pengunjung ruang sebelah. Tadi pintunya terbuka karena petugas kebersihan sedang membersihkan tempat ini jadi saya bisa masuk"
"Kamu kenal keluarga saya?"
Terdiam sejenak anak itu. Tertegun menatap Seokjin seolah sedang berpikir sebelum akhirnya menunduk dan menggeleng pelan. "Tidak, Kak..." jawabnya lirih.
Anak itu lalu menengok kebelakang kearah altar dan kembali berujar. "Tadi waktu pintunya terbuka saya lihat foto Ibu itu dan tiba-tiba saya ingin mengirim doa juga. Ka-karena..."
"Kenapa?" Tanya Seokjin penasaran.
"K-karena..S-saya ingat Ibu saya. I-ibu saya juga sudah meninggal" jawab anak itu dengan suara bergetar.
Seokjin bingung harus bersikap bagaimana saat melihat anak itu mendadak terlihat sangat menyedihkan.
Sungguh, Seokjin sendiri sudah merasakan betapa pedihnya kehilangan seorang Ibu. Luka karena berdukanya seolah tak akan pernah tersembuhkan.
"Saya ikut berduka. Boleh tau siapa namamu? Dari keluarga ruang berapa? Mungkin saya juga bisa kirim doa buat Ibu kamu"
Anak itu kembali menunduk. "Maaf saya harus pergi. Tolong maafkan kelancangan saya karena masuk kesini. Permisi" anak itu pun berlalu dengan cepat dari hadapan Seokjin.
Tentu saja Seokjin terpaku dengan kepergian anak itu yang bahkan tidak mau menjawab pertanyaannya. Benar-benar anak yang misterius.
Seokjin kemudian masuk ledalam ruangan. Seraya otaknya masih memproses kejadian yang baru saja terjadi, tangannya mengambil dua foto Mama Nami yang ia bawa untuk ditaruhnya diatas meja menggantikan dua foto yang sudah lama dipajang disana.
.
.
"Taehyung juga ga pernah lihat anak itu?"
'Ngga, Ka. Kita berdua belum pernah lihat siapapun masuk ke altar Mama'
"Dia bilang kalo dia pengunjung ruang sebelah, tapi ga mau terus terang namanya siapa, dari keluarga mana. Ga tau deh kenapa Kakak jadi ngerasa kayak ada sesuatu gitu"
Seokjin sudah berada di apartemennya, sedang menikmati makan malam ayam goreng dan ramen pedas sementara berada dalam percakapan telepon dengan speaker yang terbuka bersama Namjoon membahas si anak misterius yang tadi dia temui di krematorium.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNSET SKY
Fiksi PenggemarMemiliki tiga kakak dengan rentang usia yang cukup jauh menjadi berkah tersendiri untuk hidup Kookie terutama jika itu menyangkut Kakak kedua dan Kakak ketiganya kecuali Kakak sulungnya yang bahkan tak pernah menatapnya.